Menanggapi situasi itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar, Minggu (1/8) malam di Jakarta, menyatakan, ia menunggu usulan dari direksi di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara untuk revisi rencana kerja dan anggaran perusahaan.
Dalam rapat di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, beberapa waktu lalu, disepakati perubahan pola bagi hasil gula antara petani dan pabrik gula. Pola itu adalah bila rendemen gula sampai dengan 7 persen, bagi hasilnya 66 persen untuk petani dan 34 persen untuk pabrik gula. Ini berarti, bila dihasilkan 100 kg gula, petani mendapat 66 kg dan untuk pabrik gula 34 kg.
Apabila rendemen 7-8 persen, bagi hasilnya 70 persen buat petani, 30 persen untuk pabrik gula. Rendemen di atas 8 persen, petani mendapat 80 persen dan pabrik gula 20 persen. Untuk tetes tebu, petani menerima 3 kg per 100 kg tebu yang digiling.
Penentuan pola bagi hasil ini relatif lebih baik dibanding yang diputuskan melalui instruksi presiden atau ketetapan menteri. Dengan kesepakatan antara perusahaan dengan petani, kondisi khas daerah akan menjadi bahan pertimbangan.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil mengatakan, dengan pola baru ini, sebagian petani sulit memahami adanya perbedaan bagi hasil yang diterimanya dan yang diterima petani lain.
Untuk tetes tebu, misalnya, kata Arum, ada PTPN yang memberikan 2,75 persen kepada petani, tetapi ada yang tetap 2,5 kg tiap 100 kg tebu yang digiling. Petani meminta agar bagi hasil gula dan tetes tebu berlaku merata untuk menghindarkan kecurigaan.
Menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional APTRI Abdul Wachid, petani tebu kini berada dalam masa sulit akibat rendemen gula turun drastis, dari 8 persen, yang terealisasi hanya 6 persen, akibat perubahan iklim. ”Kerugian petani bisa ditekan dengan pola bagi hasil yang menguntungkan,” kata dia.
No comments:
Post a Comment