”Ini lebih ke masalah pengawasan dan penegakan hukum yang lemah, bukan hanya masalah disparitas harga,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, Senin (2/8) di Jakarta.
Karena itu, persoalan ledakan elpiji ini diharapkan tidak direduksi sebatas disparitas harga. Artinya, apa yang sudah diwacanakan, seperti penarikan tabung dan aksesorinya yang tidak memenuhi standar dan ilegal, termasuk pengoplosan, harus dilakukan dulu secara tuntas.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono sebelumnya menyatakan, ada tiga opsi untuk mengatasi perbedaan harga. Pertama, harga elpiji kemasan 12 kg diturunkan. Kedua, harga elpiji 3 kg dinaikkan dan rakyat miskin diberi kupon agar bisa menjangkau harga itu. Ketiga, harga elpiji 12 kg diturunkan sedikit dan harga elpiji 3 kg dinaikkan sedikit agar harganya setara.
Menanggapi opsi-opsi itu, Pri Agung berpendapat opsi kupon yang paling baik karena paling mendekati sistem subsidi langsung. ”Yang harus dilakukan dulu adalah mendata masyarakat miskin secara benar, lalu mendesain sistem dan mekanisme pendistribusiannya serta cara menggunakannya. Implementasinya tak mudah, tetapi harus dilakukan kalau ingin masalah ini teratasi,” ujar dia. Ditegaskan, disparitas harga hanya bisa diatasi dengan menggantinya ke sistem subsidi langsung kepada yang berhak. Oleh karena itu, data penduduk miskin harus dibenahi. ”Kalau tidak, akar masalah subsidi tidak terselesaikan dengan tuntas,” ujar Pri Agung.
Secara terpisah, Sekretaris Menko Kesra Indroyono mengakui, sosialisasi penggunaan elpiji 3 kg yang aman perlu lebih digencarkan. Selama ini sosialisasi sudah berjalan, tetapi masing-masing kementerian teknis terkait masih sibuk mengalokasikan anggarannya.
Untuk itu, rapat koordinasi teknis memutuskan, sosialisasi program konversi minyak tanah ke elpiji, terutama penggunaan elpiji 3 kg yang aman, dipimpin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). ”Anggarannya sudah keluar untuk program sosialisasi sampai Desember,” kata dia.
Kegiatan sosialisasi, kata Indrojono, melibatkan semua kementerian terkait, antara lain Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; PT Pertamina selaku pemasok elpiji 3 kg; serta pemerintah daerah setempat.
Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Huzna Zahir, menilai, pemerintah lamban dalam sosialisasi tata cara pemakaian elpiji 3 kg yang aman, termasuk tentang masa pakai serta kelaikan tabung dan aksesorinya. ”Seharusnya pemerintah memeriksa kondisi paket perdana konversi ke komunitas,” ujar Huzna.
Menurut pengajar Sosiologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edie Toet Hendratno, sosialisasi sebaiknya tidak hanya mengajarkan cara pakai elpiji, tetapi juga mengajak masyarakat mengubah pola hidup, dari pemakai minyak tanah ke pengguna elpiji. Karakteristik masyarakat yang berbeda-beda harus dipertimbangkan.
Sosialisasi gas di Jakarta, misalnya, akan lebih mengena jika langsung ke permukiman padat. Lebih dari 20 persen warga Jakarta hidup di permukiman padat di gang sempit.
”Katanya kalau ada tanda gas bocor, seperti bau menyengat, segera bawa tabung gas ke tempat terbuka. Di sini, tempat terbukanya mana. Semuanya gang sempit,” kata Nurdin, penghuni Kampung Pucung, Pejaten Timur, Jakarta Selatan.
Melihat kenyataan itu, kata Edie, seharusnya dalam setiap program yang mengubah pola hidup masyarakat harus diperhatikan aspek sosial, ekonomi, teknik, dan budaya. ”Konversi energi ini tak bisa sembarangan diterapkan,” kata Edie.
No comments:
Post a Comment