Demikian disampaikan Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Seluruh Indonesia Said Iqbal dan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Rekson Silaban di Jakarta, Rabu (25/8).
”SK Mennakertrans soal pembayaran THR mengatur semua pekerja tanpa melihat status hubungan kerja. Pemerintah perlu membentuk tim deteksi dini dan aturan baru yang menekan penggunaan outsourcing,” ujar Iqbal.
Dijelaskan, penyedia jasa outsourcing semestinya memiliki hubungan kerja tetap dengan pekerja. Mereka tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada perusahaan yang tengah menyewa pekerja outsourcing.
Oleh karena itu, Iqbal meminta pemerintah mengawasi perusahaan pengguna dan penyedia jasa outsourcing. Apabila salah satu perusahaan tidak memenuhi hak normatif pekerja outsourcing, pemerintah harus mencabut izin usaha mereka dan menjatuhkan denda perdata atau pidana.
Menurut Iqbal, modus penyimpangan yang kerap terjadi, pengusaha mengontrak pekerja outsourcing sampai menjelang Lebaran. Selanjutnya, pengusaha outsourcing menolak membayar THR dengan dalih kontrak telah berakhir dengan pengguna jasa.
Rekson menjelaskan, dari 28 juta buruh formal, 19 juta orang di antaranya buruh outsourcing. Para pekerja outsourcing itu umumnya bergaji rendah dan tidak menerima THR karena kontrak berakhir sebelum satu tahun masa kerja.
”Kasus seperti ini banyak terjadi di Batam dan kawasan berikat industri. Pemerintah harus lebih aktif mengawasi dan upah buruh kontrak harus lebih tinggi 8,3 persen daripada upah buruh tetap per bulan,” ujar Rekson.
Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan (PPK) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi I Gusti Made Arka menegaskan, ia telah meminta kepala dinas ketenagakerjaan provinsi meningkatkan pengawasan penggunaan tenaga kerja asing dan outsourcing. Hasil pengawasan wajib dilaporkan kepada Mennakertrans melalui Dirjen PPK. ”Pemda wajib mengawasi dan mendata perusahaan dan pekerja outsourcing di wilayahnya,” ujar Arka.
No comments:
Post a Comment