Demikian yang mengemuka dalam rapat dengar pendapat Komisi IV DPR dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Rapat dipimpin Wakil Ketua Komisi IV dari Fraksi Partai Golkar Firman Soebagyo di Jakarta, Selasa (31/8).
Menanggapi permintaan Gapki, Komisi IV DPR berjanji akan membahas masalah tersebut dengan pemerintah. Menurut Firman, sektor riil yang digerakkan swasta harus didorong dan dilindungi karena menjadi motor ekonomi. Namun, di sisi lain, hutan juga harus difungsikan sebaik-baiknya untuk kepentingan ekologi dan ekonomi.
Berdasarkan laporan Gubernur Kalimantan Tengah kepada Menteri Kehutanan, terdapat 964.000 hektar perkebunan tanpa izin. Sebagian besar perkebunan itu berkembang dalam periode 2000-2006.
Menurut Sekretaris Umum Gapki Joko Supriyono, pemerintah hendaknya tak terus menyamaratakan perkebunan kelapa sawit di Kalteng sebagai perambah hutan. Sebagian besar perkebunan itu memiliki izin pemerintah daerah dan sesuai surat Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan Nomor 778/VIII-KP/2000 tanggal 12 September 2000.
Namun, Menteri Kehutanan mencabut surat Kepala Baplan tersebut dengan surat No S.575/Menhut-II/2006 tanggal 11 September 2006.
Persoalan muncul karena pemerintah memberlakukan aturan tersebut secara retroaktif dan menganggap ilegal perkebunan yang sudah ada.
”Kami tidak mau semuanya diputihkan begitu saja. Pemerintah harus bijaksana menyelesaikan masalah ini karena mereka juga ikut menyebabkan hal ini,” kata Joko.
Ketua Bidang Penelitian dan Lingkungan Hidup Gapki Daud Dharsono mengatakan, pengusaha meminta ketegasan pemerintah. Sebagian besar anggota Gapki di Kalteng beroperasi dengan izin lengkap mengikuti regulasi pemerintah pusat dan pemda ketika itu. Dengan izin itu, pengusaha membuka lahan dan mendapat sertifikat HGU.
”Sekarang pemerintah menetapkannya sebagai hutan produksi. Kami berharap Komisi IV bisa membantu sehingga iklim usaha perkebunan nasional semakin kondusif,” ujar Daud.
No comments:
Post a Comment