Ketua Apindo, Hariyadi Sukamdani mengaku telah menerima seruan mogok KSPI tersebut. Ia menilai perbuatan tersebut bisa sangat merugikan operasional perusahaan dan sudah menyalahi kegiatan mogok kerja yang diatur dalam perundangan. Mengacu pada pasal 137 UU Nomor 13 Tahun 2003, Hariyadi mengatakan mogok kerja bisa dilakukan jika hak dasar pekerja atau buruh dan serikat dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Ia menilai, selama ini belum ada perundingan antara buruh dan pemilik perusahaan terkait aksi yang akan dilakukan ini.
"Bahkan kami dengar tujuannya adalah untuk melumpuhkan kegiatan operasional kami. Apabila rencana itu tetap dilaksanakan dan kami dirugikan, maka kami tetap akan melakukan tuntutan baik pidana maupun perdata karena ini sudah menggangu aktifitas kegiatan perusahaan," tuturnya di Jakarta, Jumat (20/11). Anak dari pendiri Grup Sahid itu mengatakan, Apindo telah menghimbau seluruh pekerja di perusahaan maupun asosiasi di bawah naungan Apindo untuk tidak ikut serta turun ke jalan mendukung aksi mogok nasional. Pasalnya, rencana aksi tersebut bakal mengganggu hak-hak perusahaan dalam menjalankan roda usaha.
"Kami meminta ke seluruh perusahaan untuk tidak mengijinkan karyawan untuk melakukan mogok kerja karena telah melanggar Undang-Undang. Kalau memang masalahnya adalah formulasi upah buruh, coba sampaikan ke pemerintah dan jangan ganggu produksi kami," jelasnya.
Ia menambahkan, serikat pekerja seharusnya bisa memahami kalau formulasi pengupahan yang tercantum di peraturan tersebut merupakan solusi yang baik bagi perusahaan dan pekerja (win-win solution) dalam menghadapi kondisi yang dialami oleh perusahaan pada saat ini. Apalagi, lanjutnya, perusahaan juga ikut dibebani oleh jaminan pensiun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sebesar 3 persen.
"Kadang pekerja itu maunya tidak make sense. Padahal dengan formulasi upah sekarang itu bisa memberikan kepastian terhadap pelaku usaha dan investasi," katanya. Pada pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 disebutkan, formulasi upah minimum memasukkan variabel upah sebelumnya, ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara penentuan upah minimum sebelumnya hanya menggunakan variabel Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Peneliti Bidang Ketenagakerjaan Pusat Penelitian dan Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Triyono menilai kebijakan pengupahan yang terwujud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 berdampak negatif pada kondisi ketenagakerjaan. Kebijakan tersebut dinilai akan menguntungkan daerah yang gerakan buruhnya lemah. Triyono mengatakan, dengan adanya penetapan PP ini buruh tidak harus bernegosiasi dan melakukan demonstrasi untuk menunggu kenaikan upah.
Apalagi, upah minimum provinsi di beberapa daerah masih di bawah angka komponen hidup layak atau KHL. Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan masih ada delapan provinsi yang menetapkan UMP di bawah KHL.
Penyesuaian kebijakan ketenagakerjaan yang tidak transparan dan tanpa dialog, menurutnya, memunculkan penolakan PP Pengupahan melalui demo buruh. Perumusan PP Pengupahan Dinilai Tidak Transparan al ini berdampak pada hubungan industrial yang tidak harmonis sehingga mengganggu iklim ketenagakerjaan yang tidak produktif dan kesempatan kerja.
"Padahal kita dihadapkan pada realitas adanya peluang bonus demografi dan pentingnya penciptaan kesempatan kerja yang layak," kata Triyono di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (3/11). Peneliti Pusat Analisis Sosial AK3, Indrasari Tjandraningsih menyatakan ada kerancuan dalam pemahaman mengenai upah dan kesejahteraan. Menurutnya upah minimum bukan untuk menyejahterakan buruh, melainkan untuk menahan agar buruh tidak jatuh ke bawah garis kemiskinan.
"Upah minimum adalah upah untuk jaring pengaman secara teoritis maupun normatif. Pengertian ini yang sering rancu oleh buruh maupun pemerintah sendiri," kata Indrasari.Dia menjelaskan, jika berbicara upah tanpa minimum maka hal itu menyangkut kesejahteraan. Di dalamnya membahas soal harga tenaga kerja yang patut dibayar. "Itu harus dirundingkan oleh pekerja dan pengusaha dalam sebuah unit usaha," ujarnya.
Sedangkan, jika bicara upah minimum, maka sebenarnya peran negara hadir di dalamnya. Menurutnya, upah minimum adalah kewajiban negara bagi warga negaranya yang bekerja agar dia tidak diperlakukan secara semena-mena oleh pemberi kerja atau pengusaha. Hal ini erat kaitannya dengan pengangguran di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik Februari 2015 menyebutkan, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,45 juta.
"Kita kelebihan tenaga kerja, antara ketersediaan kesempatan kerja dan ketersediaan pencari kerja sangat timpang. Di situlah negara hadir agar mereka yang berebut mencari kerja tidak tereksploitasi atau dibayar semena-mena," kata Indrasari. Triyono berpendapat, keberadaan PP Pengupahan ini bisa menjadi jalan tengah agar perusahaan tetap berjalan, lapangan kerja bisa tercipta, investasi meningkat, dan buruh terlindungi.
"Formula yang diajukan pemerintah bisa dikatakan jalan tengah, karena kita melihat permasalahan bukan hanya dari dua sisi, pengusaha dan buruh, tapi juga pencari kerja. Kalau cuma dua sisi, pencari kerja mau dikemanakan kesempatannya," kata Triyono. Namun di sisi lain juga menimbulkan hal negatif karena penetapan PP ini justru kontraproduktif, tidak sejalan dengan semangat dialog antara buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Pegiat Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Pratiwi Febry menilai proses pembuatan PP ini tidak partisipatif dan tertutup bagi publik. "PP Pengupahan jelas tidak tepat karena dari sisi formil saja prosesnya sudah cacat," kata Pratiwi. Terkait formula, dia sepakat dengan Triyono yang menyebut ini sebagai jalan tengah. Namun menurutnya, formula yang diatur dalam PP pengupahan adalah formula penetapan upah minimum.
Jaringan pengaman ini adalah tanggung jawab negara, sedangkan penentuan upah adalah negosiasi antara pekerja dengan pengusaha. "Diskursus yang harus dibangun ke depan, bagaimana pemerintah menetapkan upah dengan melibatkan pemerintah daerah," katanya.
No comments:
Post a Comment