Saturday, November 7, 2015

Laporan Menkeu Tentang Fenomena Ekonomi Tumbuh Tapi Pembayaran Pajak Berkurang

Kondisi keuangan negara saat ini tengah menjadi sorotan, karena kekhawatiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal rendahnya penerimaan pajak. Sementara kebutuhan dana untuk proyek di akhir tahun cukup besar. Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan, hingga 5 November 2015, penyerapan anggaran belanja dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2015 sudah mencapai 71% dari pagu yang sebesar Rp 1.984,1 triliun. Sementara penerimaan negara mencapai 63% dari targetnya Rp 1.761,6 triliun.

"Yang besar belanja pegawai dan Bansos (Bantuan Sosial), tinggi realisasinya. Belanja pegawai hampir 80 persen, Bansos juga sama. Belanja modal di 39 persen, belanja barang di atas itu. Belanja terakhir 92-94 persen, ini total, termasuk subsidi, transfer daerah dan lain-lain," jelas Bambang dalam media briefing, di Hotel Harris, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (7/11/2015).

Dia mengatakan, realisasi belanja modal sampai akhir tahun maksimal 80%, sedangkan belanja Kementerian/Lembaga adalah 88-90%. Soal defisit anggaran yang mengkhawatirkan, Bambang cukup tenang. Dia mengatakan, defisit akan dijaga di kisaran 2,5% dari PDB. Menyinggung soal penerimaan pajak, Bambang menyatakan, akan ada kekurangan dari target Rp 1.295 triliun, namun dia usahakan kekurangannya tidak besar, sehingga defisit bisa dijaga. Pemerintah pusat menjaga defisit anggarannya tidak lebih dari 2,7%, karena sisanya 0,3% untuk pemerintah daerah.

"Daerah sering surplus, uang di bank makin lama makin banyak," ujar Bambang.

"Cash flow selalu kita manage. Selalu ada uang masuk setiap hari, tapi ada juga yang dibelanjakan. Ada pengeluaran yg ditahan memang. PMN (Penyertaan Modal Negara) 2015 belum semua keluar, PP (Peraturan Pemerintah) juga belum keluar. Mudah-mudahan jelang akhir tahun, PMN bisa kelar," ucap Bambang.

Hingga 4 November 2015, penerimaan pajak baru mencapai baru Rp 774,4 triliun atau sekitar 60% dari target sekitar Rp 1.295 triliun. Ada yang bilang target tersebut terlalu tinggi, namun Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro punya alasan. Menurut Bambang, ada keanehan dalam data rasio penerimaan pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio. Pada 2012 hingga 2014, rasio pajak Indonesia turun, padahal pertumbuhan ekonomi bagus. Rasio pajak di 2012 adalah 12%, dan turun menjadi 11% di 2014.

"Tax ratio sama dengan penerimaan pajak terhadap PDB. Turun itu aneh, karena pada periode itu pertumbuhan ekonomi kita bagus," jelas Bambang, dalam media briefing, di Hotel Harris, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (7/11/2015). Melihat data ini, lanjut Bambang, sepanjang 2012-2014 ada penerimaan pajak yang hilang. Penyebabnya? Menurut Bambang, adalah soal administrasi perpajakan yang perlu diperbaiki.

Karena itu, di tahun ini ditargetkan mencapai Rp 1.295, atau naik dari realisasi tahun lalu yang sekitar Rp 900 triliun. Meskipun akhirnya terbentur kondisi pertumbuhan ekonomi yang melambat. "Kita tidak bicara angka dari langit. Ini angka sensible. Itu pun jauh dari ideal. Di 2015 katanya target pajak ketinggian. Kalau tax ratio 12 persen, Rp 1,375 harusnya tahun 2015 penerimaan. Tax ratio harusnya berjalan lurus dengan pertumbuhan ekonomi," tegas Bambang.

Peningkatan penerimaan pajak ini untuk mengembalikan rasio pajak Indonesia ke 12% seperti di 2012. Tingkat rasio pajak 12% menurut Bambang belum ideal, banyak negara sudah mencapai lebih dari 14%. "Pajak harusnya tumbuh. Kalau basisnya 2014, kita anggap remeh pajak. Kita ingin perbaiki ini. Ingin tax ratio kembali ke tingkat 12 persen atau lebih," ujar Bambang

Di saat harga minyak turun saat ini, sumber penerimaan utama negara adalah pajak, cukai, dan terakhir pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Migas. "Ini pemerintah baru. Perlu tunjukkan pergerakan ke infrastruktur, sehingga mau tidak mau, potensi (rasio pajak) yang tadi hilang, ada yamg dikembalikan lah lewat pendekatan pajak," ungkap Bambang.

Soal pajak, Bambang mengungkapkan, masalah perbaikan administrasi perpajakan perlu dilakukan. Pajak tidak bisa 100% bergantung pada pertumbuhan ekonomi. Karena itu, Kemenkeu lewat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak melakukan kebijakan Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan, Dan Keterlambatan Pembayaran Atau Penyetoran Pajak. Aturan yang disebut reinventing policy ini, ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015.

Lalu ada kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty untuk tahun depan yang saat ini tengah digodok aturannya di DPR. Ini dilakukan sehingga bisa dibenahi kepatuhan pajak para wajib pajak yang saat ini belum maksimal. Melalui tax amnesty ini, Bambang ingin agar penghindar pajak yang menempatkan uang di luar negeri mau kembali ke dalam negeri. Karena di 2017, akan ada kebijakan automatic exchange of information, atau pertukaran data yang dilakukan Indonesia dengan sejumlah negara besar, untuk melacak uang warga Indonesia yang ditaruh di luar negeri.

"Melakukan reformasi tax administration tidak mudah. Kita kejar WP (wajib pajak) nakal, tapi sembunyi di balik WP baik," ucap Bambang  Tahun ini targetnya, penerimaan pajak akan Rp 160 triliun di bawah target yang sebesar Rp 1.295 triliun. Bambang mengatakan, masih banyak yang harus dikumpulkan Ditjen Pajak hingga akhir tahun. Yaitu:
  • Penerimaan pajak rutin
  • Upaya-upaya khusus
  • Extra effort. Perkiraan awal di 2 bulan ini, minimum penerimaan pajak Rp 50 triliun.
Berikut kira-kita sumber penerimaan pajak dari usaha ekstra yang dilakukan hingga akhir tahun:
  • Reinventing policy minimum meraup Rp 30 triliun
  • Revaluasi aset minimal Rp 10 triliun
  • Penagihan dan pemeriksaan Rp 5 triliun
  • Ekstensifikasi Rp 5 triliun
Bambang mengatakan, di tahun ini penerimaan pajak yang lesu adalah Pajak Penghasilan (PPh) Migas, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor.

No comments:

Post a Comment