Sunday, November 8, 2015

Cara Bakrie Telecom Tbk Melunasi Hutang Senilai Rp. 7 Triliun Tanpa Perlu Uang

PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) akan melunasi utangnya Rp 7 triliun dengan cara mengonversi jadi saham. Saat ini, operator telekomunikasi Grup Bakrie itu sedang menunggu diskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Lagi menunggu OJK diskusinya, kita tunggu dari OJK. Pengajuan sudah lama dari Februari. Kita suruh tunggu saja. Kita ikuti aturan yang berlaku. Yang Rp 7 triliun itu yang PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) itu," kata Direktur Utama BTEL, Jastiro Abi, di Gedung BEI, SCBD, Jakarta Selatan, Senin (9/11/2015).

Utang yang akan dikonversi tersebut merupakan bagian dari total utang yang nilainya lebih dari Rp 10 triliun. Sebagian besar utang dikonversi jadi saham, sementara sisanya dibayar pakai cara cicil. Sebagian ada utang ke pemerintah, sekitar Rp 1,2 triliun, berbentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yakni berupa pungutan yang seharusnya dibayarkan perusahaan telekomunikasi tersebut kepada Kominfo.

"(Piutang pemerintah) memang tidak dikonversi. Dibayar. Kita bayar secara bertahap," ujarnya. Para pemegang obligasi anak usaha PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) berang karena ada rencana restrukturisasi utang secara sepihak. Utang perusahaan telekomunikasi itu tidak hanya berbentuk obligasi. Perusahaan yang tergabung dalam Grup Bakrie itu saat ini sedang dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) untuk melunasi kewajibannya yang mencapai Rp 11 triliun.

Tuntutan PKPU ini muncul setelah salah satu vendor Bakrie Telecom yaitu PT Netwave Multi Media mengajukan permohoan ke pengadilan atas tagihan Rp 4,7 miliar yang belum dibayarkan operator Esia tersebut. Akhirnya Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan pada 10 November, yang memutuskan pemberian PKPU sementara kepada BTEL selama 30 hari sejak tanggal putusan.

Setelah hasil verifikasi PKPU, diketahui total utang Bakrie Telecom mencapai Rp 11,3 triliun. Perseroan juga sudah punya rencana membayar utang-utangnya ini. Berikut rincian utang Bakrie Telecom setelah hasil verifikasi PKPU per 5 Desember 2014, seperti dikutip dari bahan paparan publik perseroan, Senin (23/2/2015)
  • Utang BHP dan USO sebesar Rp 1,2 triliun
  • Utang Usaha sebesar Rp 2,4 triliun
  • Utang Tower Providers sebesar Rp 1,3 triliun
  • Utang Dana Hasil Wesel Senior sebesar Rp 5,4 triliun
  • Utang Akibat Derivatif sebesar Rp 185 miliar
  • Utang Afiliasi sebesar Rp 73,7 miliar
  • Utang Dengan Jaminan sebesar Rp 625 miliar
  • Utang Pembiayaan Kendaraan sebesar Rp 2,6 miliar
Bakrie Telecom juga sudah membeberkan cara melunasi utang-utangnya tersebut, yaitu dengan cara dilunasi secara bertahap dalam jangka waktu tertentu hingga diubah menjadi Mandatory Convertible Bond (MCB) yang dapat dikonversikan menjadi saham BTEL pada harga Rp 200 per lembar.

Cara pelunasan seperti ini juga diterapkan pada utang yang diterbitkan anak usahanya, BTEL Pte Ltd, yang menawarkan obligasi US$ 380 juta (Rp 4,1 triliun) di New York.Bakrie Telecom sudah dituntut ke Pengadilan New York karena beberapa kali gagal bayar pokok dan bunga obligasi. Bakrie Telecom pun berniat merestrukturisasi utang tersebut, tapi tanpa melibatkan pemegang sahamnya alias memakai cara yang 'kreatif'.

Perusahaan telekomunikasi Grup Bakrie, PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL), punya cara 'kreatif' untuk bereskan utang-utangnya. Cara yang memanfaatkan celah hukum ini pun diprotes oleh para krediturnya. Pasalnya, para pemegang obligasi yang diterbitkan oleh anak usaha Bakrie Telecom di New York, BTEL Pte Ltd, tidak diberi hak voting dalam rencana restrukturisasi utang.

Dalam rencana pembenahan utang tersebut, dana para pemegang obligasi berpotensi tidak kembali karena utangnya tidak secara langsung diambil oleh operator Esia tersebut. Beberapa investor asing khawatir skema penyelesaian utang yang 'kreatif' ini bakal ditiru oleh perusahaan-perusahaan Indonesia lainnya. Cara seperti ini bisa dipastikan memberatkan investor.

Apalagi saat ini banyak perusahaan-perusahaan komoditas dalam negeri yang utangnya menggemuk gara-gara harga komoditas yang lesu. "Ini memang meresahkan. Sekarang ini banyak perusahaan Indonesia yang butuh restrukturisasi utang. Investor juga sudah mulai sadar akan hal ini," kata salah satu fund manager asing yang beroperasi di Indonesia kepada Reuters, Senin (23/2/2015). Bakrie Telecom berniat merestrukturisasi utangnya dengan cara yang tak lazim, yaitu dengan memberi utang kepada diri sendiri. Ceritanya begini, Bakrie Telecom membuat anak usaha, yaitu BTEL Pte Ltd, terlebih dahulu.

Nah, anak usahanya ini menerbitkan surat utang yang dibeli masyarakat di New York. Uang hasil obligasi itu dipinjamkan ke induk usaha, yaitu Bakrie Telecom. Ketika utang itu macet, kelompok usaha Bakrie itu harus mengajukan rencana restrukturisasi kepada para kreditur. Tapi dalam kasus ini para pemegang obligasi tidak punya hak voting. Bakrie Telecom beralasan, para pemegang obligasi perusahaan tidak punya hak untuk voting karena bukan kreditur langsung. Obligasi yang mereka pegang diterbitkan oleh perusahaan terpisah (special purpose vehicle/SPV) yang bermarkas di New York, yaitu BTEL Pte Ltd.

Ketika kreditur protes atas restrukturisasi utang, maka yang dituntut adalah BTEL Pte Ltd dan bukan Bakrie Telecom. Para kreditur dinilai tidak punya hubungan langsung dengan operator Esia tersebut. Manuver yang tidak diduga-duga investor ini sudah disetujui oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Padahal wali amanat obligasi tersebut, Bank of New York Mellon, sudah menyatakan langkah tersebut melanggar dari sisi kontrak maupun hukum. Senior Director Fitch Ratings, Vicky Melbourne, mengatakan persetujuan atas restrukturisasi utang tersebut menonjolkan adanya kelemahan dalam pemerintahan Indonesia.

"Investor asing menjadi semakin sadar atas kelemahan hukum di Indonesia," kata Melbourne kepadaReuters. Sejumlah kreditur atau pemegang obligasi yang diterbitkan anak usaha PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) berang. Pasalnya, kelompok usaha Grup Bakrie itu berniat membereskan utang-utangnya dengan cara 'kreatif'. Bakrie Telecom akan melakukan restrukturisasi utang dengan cara memberi utang kepada diri sendiri. Begini cerita awalnya.

Bakrie Telecom membuat anak usaha, yaitu BTEL Pte Ltd. Nah, anak usahanya ini menerbitkan surat utang yang dibeli masyarakat di New York. Uang hasil obligasi itu dipinjamkan ke induk usaha, yaitu Bakrie Telecom. Ketika utang itu macet, kelompok usaha Bakrie itu harus mengajukan rencana restrukturisasi kepada para kreditur. Tapi dalam kasus ini para pemegang obligasi tidak punya hak voting. Operator Esia itu beralasan, para pemegang obligasi perusahaan tidak punya hak untuk voting karena bukan kreditur langsung. Obligasi yang mereka pegang diterbitkan oleh perusahaan terpisah (special purpose vehicle/SPV) yang bermarkas di New York, yaitu BTEL Pte Ltd.

Ketika kreditur protes atas restrukturisasi utang, maka yang dituntut adalah BTEL Pte Ltd dan bukan Bakrie Telecom. Para kreditur dinilai tidak punya hubungan langsung dengan operator Esia tersebut. Dalam rencana restrukturisasi utang BTEL tersebut, sebanyak 30% utang kreditur besar akan dibayar tunai, sementara sisanya ditukar menjadi mandatory convertible bond (MCB) yang bisa ditukar dengan saham BTEL setara Rp 200 per lembar.

Harga konversi itu memang jauh lebih tinggi dari harga saham Bakrie Telecom saat ini di kisaran Rp 50 per lembar. Kendati demikian, investor tetap tidak akan balik modal dengan konversi tersebut. "Rencana ini menghajar para pamegang obligasi. Jika Anda termasuk salah satu dari mereka, Anda bakal rugi besar," kata salah satu penasihat untuk pemegang obligasi Bakrie Telecom kepada Reuters, seperti dikutip Senin (23/2/2015).

"Jadi mereka ini sekarang penerbit obligasi sekaligus krediturnya," kata Hal Hirsch, pengacara yang mewakili kreditur Bakrie Telecom pemegang 25% obligasi yang jatuh tempo Mei mendatang. "Mereka jabat tangan sendiri, bikin perjanjian sendiri, dan sekarang tidak menganggap semua klaim yang diajukan pemegang obligasi," jelasnya. Sidang tuntutan para pemegang obligasi itu akan kembali digelar Selasa mendatang di Pengadilan New York.

"Bakrie Telecom tidak mengakui para pemegang obligasi sebagai krediturnya karena perusahaan dan anak usahanya yang menerbitkan obligasi adalah dua entitas yang berbeda," kata Aji Wijaya, pengacara yang mewakili Bakrie Telecom ketika dihubungi Reuters. "Siapa pun krediturnya, kita sudah mengikuti peraturan yang berlaku di sini," kata Aji.

Aji juga menambahkan, para krediturnya ini tidak akan mendapat uang sama sekali jika BTEL Pte Ltd dinyatakan bangkrut.Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Bakrie pernah merajai dunia bisnis dalam negeri. Dunia pun berputar, kadang kita di atas dan kadang di bawah.
Perusahaan-perusahaan ini sekarang tidak lagi berkinerja kinclong seperti dulu, terutama sebelum krisis ekonomi global 2008. Kinerja perusahaan Grup Bakrie terus merosot dan harga sahamnya menukik hingga ada yang menyentuh titik terendah di Rp 50 per lembar.

Selain saham yang loyo, utang-utang perusahaan Bakrie pun menggunung. Kendati demikian, masih banyak investor asing yang percaya untuk berinvestasi atau membeli surat utangnya? Menurut salah satu fund manager asing yang beroperasi di Indonesia, selama ini investor asing sudah tahu risiko yang berpotensi timbul di perusahaan Grup Bakrie. Tapi investor masih berani berinvestasi dan membeli surat utangnya dengan iming-iming bunga besar.

Selain itu, grup ini juga dikenal sering jual atau gadai saham demi mendapatkan uang tunai untuk membayar investor atau kreditur. Belum lagi program restrukturisasi utang yang selama ini berhasil menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. "Tapi program restrukturisasi itu yang kadang membuat investor khawatir. Karena bisa-bisa restrukturisasinya merugikan investor," kata fund manager yang tidak mau disebutkan namanya kepada Reuters seperti dikutip Reuters, Senin (23/2/2015).

Kasus terakhir yang ramai dibicarakan adalah gagal bayar bunga dan pokok obligasi senilai US$ 380 juta (Rp 4,1 triliun) PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL). Perusahaan telekomunikasi Bakrie ini diseret ke Pengadilan New York. Para pemegang obligasi ini berang karena berpotensi kehilangan uangnya. Pasalnya, program restrukturisasi yang dilakukan BTEL akan dilakukan tanpa persetujuan para kreditur.  Anak usaha Grup Bakrie ini memakai cara 'kreatif' dalam membereskan utangnya. Penjelasan soal cara restrukturisasi utang yang tidak biasa itu ada di sini.

Meski cara BTEL bayar utang tak biasa, tapi Pengadilan Negeri Jakarta sudah merestui rencana restrukturisasi. Meski demikian, sidang tuntutan para pemegang obligasi itu akan tetap digelar Selasa mendatang di Pengadilan New York. "Jadi mereka ini sekarang penerbit obligasi sekaligus krediturnya," kata Hal Hirsch, pengacara yang mewakili kreditur Bakrie Telecom pemegang 25% obligasi yang jatuh tempo Mei mendatang.

"Mereka jabat tangan sendiri, bikin perjanjian sendiri, dan sekarang tidak menganggap semua klaim yang diajukan pemegang obligasi," tambah Hirsch. Sementara itu, Senior Director Fitch Ratings Vicky Melbourne mengatakan, restrukturisasi utang Bakrie Telecom ini berpotensi membuat investor asing ragu-ragu dalam menempatkan dana di Indonesia. Pasalnya, kata Melbourne, banyak celah hukum di Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk menghindari kewajiban.

"Investor asing menjadi semakin sadar atas kelemahan hukum di Indonesia," kata Melbourne kepada Reuters.

No comments:

Post a Comment