Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tegas menolak rencana pemerintah mencabut subsidi listrik golongan 450 Va dan 900 VA dengan dipindahkan ke golongan 1.300 VA. Menurut YLKI, cara pemerintahan itu merupakan kedok menggiring masyakarat masuk ke mekanisme pasar. "Rencana ini sebenarnya kedok untuk mengenakan tarif listrik yang market mechanism," ujar Ketua Harian YLKI Tulus Abadi saat berbicara di acara diskusi Energi Kita di Jakarta, Minggu (1/11/2015).
Saat ini, tutur dia, tarif listrik golongan 1.300 VA sudah menggunakan skema perhitungan yang mengikuti kurs rupiah, harga minyak dunia, dan inflasi. Bahkan Tulus menyebut cara-cara yang dilakukan pemerintah sudah mengarah ke neoliberalisme listrik, semua diserahkan ke mekanisme pasar. Sejak beberapa tahun lalu ucap dia, masyarakat pengguna listrik 450 VA dan 900 VA sudah mendapatkan penggiringan untuk beralih ke golongan 1.300 VA.
Dari hasil laporan yang diterima YLKI, PLN mengiming-imingi masyakarat yang mau beralih ke golongan 1.300 VA dengan menambah daya. "Mereka (masyarakat) senang kan karena gratis tambah daya. Padahal setelah masuk mereka masuk jebakan batman," ucapnya.Tulus mengakui tarif listrik 450 VA dan 900 VA tidak naik sejak 2003. Tetapi dia mengatakan tak setuju apabila pemerintah melakukan penggiringan pengguna listrik 450 VA dan 900 VA ke 1.300 VA.
YLKI mengusulkan apabila ada kenaikan tarif maka kenaikan harus bertahap. Tujuannya satu agar masyakarat tak terbebani. Selama ini pelanggan 450 VA dikenaikan tarif listrik Rp 400 per kWh dan 900 VA sebesar Rp 600 per kWh. Sementara, tarif keekonomian atau nonsusidi pelanggan 1.300 VA yang akan diberlakukan pada pelanggan 450 dan 900 VA, mencapai Rp 1.352 per kWh.
Dengan demikian, ada kenaikan 238 persen bagi pelanggan 450 VA dan 125 persen untuk pelanggan 900 VA. Rencana pemerintah mencabut subsidi listrik pelanggan rumah tangga 450-900 VA bagi mereka yang mampu dinilai akan menimbulkan efek domino. Setidaknya, dari hasil penelitian Universitas Indonesia (UI), kebijakan tersebut berdampak pada naiknya inflasi hingga naiknya angka kemiskinan.
"Hitungan kami ada tiga sampai lima juta yang akan jatuh ke kelompok rentan miskin," ujar pengamat ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), Riyanto, dalam acara diskusi Energi Kita di Jakarta, Minggu (1/11/2015). Saat ini, tutur dia, total jumlah pelanggan listrik 450 VA dan 900 VA mencapai 48 juta rumah tangga.
Sementara itu, berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 24,7 juta rumah tangga merupakan masyarakat miskin dan hampir miskin. Artinya, akan ada sekitar 23 juta rumah tangga yang subsidi listriknya akan dicabut. Akibat pencabutan subsidi tersebut, harga listrik akan naik mencapai 250 persen. Hal inilah yang diperkirakan menyebabkan 3 juta sampai 5 juta rumah tangga masuk ke dalam kategori rentan miskin.
Selain itu berdasarkan penelitian UI, pencabutan subsidi listrik kepada 23 juta rumah tangga juga akan menyebabkan inflasi sebesar 1,74 persen. Artinya, bila target inflasi pemerintah 4 persen, maka akan menjadi 5,74 persen pada 2016 mendatang.
Tak cuma dampak langsung, kenaikan tarif listrik akan menyebabkan dampak tak langsung karena tarif listrik jadi komponen produksi. Akibatnya, harga-harga akan naik dan inflasi akan kian melejit. Diperkirakan tambahan inflasi akan mencapai 4 persen.
"Untuk pertumbuhan ekonomi tidak terlalu besar dampaknya menjadi turun 0,59 persen," kata dia. Sementara itu, dampak sosial yang terjadi ialah terjadinya kecemburuan sosial lantaran ada masyakarat yang dapat subsidi dan tidak dapat subsidi. Selain itu, PLN juga akan kena dampak akibat kenaikan tarif listrik tersebut. Meski kebijakan pemerintah, kantor-kantor PLN diprediksi akan menjadi sasaran protes masyakarat. Riyanto mengusulkan agar dampak kenaikan tarif listrik tak besar, pemerintah bisa melakukan cara yang lembut, misalnya dengan menaikkan tarif secara bertahap, tak sekaligus.
No comments:
Post a Comment