Sunday, November 1, 2015

Kalkulasi Bisnis Untung Rugi Indonesia Masuk Trans Pasific Partnership

Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati mewanti-wanti pemerintah untuk tak ikut-ikutan masuk kedalam Trans Pasific Partnership (TPP). Di mata dia, keinginan Presiden Jokowi bergabung dengan TPP tanpa didasari perhitungan yang matang merupakan suatu kekonyolan.

"Pertanyaanya gini, pemerintah sudah punya kalkulasi belum? Punya kajian belum? Ini konyol kalau suatu kebijakan diambil karena pesaing (dagang Indonesia) ikut TPP. 'Kalau enggak ikut, matilah kita', konyol kalau seperti itu," ujar Enny Menurut Enny, pemerintah sebaiknya benar-benar melakukan kalkulasi secara mendalam terkait rencana tersebut.

Pasalnya saat Indoneisa dinilai belum siap menghadapi dampak perdagangan bebas dari TPP yang merupakan anggotanya merupakan negara penggerak 40 persen ekonomi dunia. Negara yang ikut dalam TPP di antaranya AS, Jepang, Australia, Selandia Baru, Kanada, Meksiko, Cile, dan Peru.

Selain itu beberapa negara-negara Asia Tenggara juga tergabung di dalamnya yakni Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Enny menilai, upaya pemerintah menggenjot produksi nasional baru dilakukan belum lama ini dengan berbagai insentif dalam paket kebijakan ekonomi. Namun ucap dia, hasil dari produksi tersebut belum terlihat.

Sementara negara-negara di TPP sudah memiliki produk dagang yang siap dengan persaingan global. Oleh karena, dia menilai, produk Indonesia akan kalah bersaing. TPP sendiri diprakarsai oleh Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Pembentukannya dilakukan sebagai apanya membendung perluasan ekonomi Tiongkok.

Menurut Obama, China akan menciptakan aturan-aturan baru ekonomi di Asia jika AS tak mengaturnya terlebih dahulu. Sejak 4 tahun silam, AS memang sangat ingin menciptakan zona perdagangan bebas Trans-Pasifik. Oleh karena itulah, AS mendorong Jepang, mengupayakan kesepakatan antara 12 negara penggerak 40 persen ekonomi dunia yang tergabung dalam TPP. Kerjasama Perdagangan TPP diyakini akan mengikat anggotanya sehingga tak memiliki keleluasaan dalam perdagangan global.

Tak mau kalah, China mendorong pemberlakuan Kawasan Perdagangan Bebas di Asia Pasifik (FTAAP). Upaya itu jelas disampaikan dalam pertemuan puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-22 APEC di Beijing pada November 2014 lalu. Hasilnya, para pemimpin APEC setuju perlunya upaya pencapaian FTAAP secara bertahap berdasarkan konsensus yang telah disepakati.

Namun, meski disepakati, persetujuan itu tak bersifat mengikat. Sebelumnya, dalam kunjunganya ke AS, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Indonesia tertarik dan bermaksud bergabung dalam Trans-pacific Partnership.

Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Jokowi langsung kepada Presiden AS Barack Obama di Gedung Putih. Indonesia belum memutuskan bergabung ke dalam Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership). Indonesia akan terus mengkaji, apakah ada keuntungan positif yang diperoleh saat bergabung ke dalam forum tersebut.

Hal itu disampaikan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, seusai membuka Konferensi Perdagangan 2013 di Hotel Borobudur Jakarta, Rabu (30/1/2013). Pada prinsipnya, Indonesia tidak tertutup terhadap Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). "Namun, selama kita belum mengetahui keuntungan yang positif, kita tidak akan bergabung ke dalam TPP," ujarnya.

Memang ada kalangan yang menganjurkan Indonesia seharusnya bergabung dalam Kemitraan Trans-Pasifik yang dimotori Amerika Serikat. Dengan bergabung ke dalam TPP, Indonesia akan mendapatkan banyak manfaat, terutama perluasan akses pasar global. Forum itu pun dinilai lebih menjanjikan dibandingkan dengan forum ASEAN atau APEC. Menurut Gita, sikap yang mendukung Indonesia bergabung ke dalam TPP sudah didengar. Namun, sikap itu belum mewakili seluruh sikap pemangku kepentingan yang ada.

"Kami juga perlu mendengar masukan dari para pemangku kepentingan yang lain, termasuk dari lembaga swadaya masyarakat," tuturnya.Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Iman Pambagyo juga mengatakan bahwa sejauh ini Indonesia masih melakukan observasi terhadap TPP. Komitmen yang dituntut dalam perjanjian TPP cukup tinggi. "Kami masih mengkaji plus minusnya bagi Indonesia," ujarnya.

Menurut Iman, komitmen perjanjian dalam TPP tidak hanya menuntut penurunan tarif dan pembukaan sektor jasa di bidang perdagangan, tetapi juga menuntut disiplin dalam menertibkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perdagangan. Selain itu, dalam TPP juga dibahas provisi mengenai lingkungan dan perburuhan.

Indonesia, lanjut Iman, bukan tidak mau menegakkan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan, dan bukan juga tidak menghargai hak-hak pekerja. "Namun, apakah kita siap kebijakan kita juga diatur dalam konteks perjanjian itu.Kedaulatan kita bisa tergerus," katanya.

Iman mengatakan, fokus Indonesia saat ini adalah Kerja Sama Ekonomi Regional Komprehensif (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) yang dicetuskan pada 2012. RCEP dianggap lebih cocok denganIndonesia. akil Presiden Jusuf Kalla mengakui adanya dampak negatif yang mungkin muncul jika Indonesia bergabung dalam Trans-Pacific Partnership (TPP). Salah satunya adalah persaingan ketat dalam bidang perkebunan dengan negara-negara lain yang tergabung dalam TPP.

"Memang pasti ada positif dan negatifnya. Negatifnya nanti ada persaingan-persaingan di bidang agrikultur, tetapi kita juga bisa pasar lebih luas, ini masalah pasar," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa (27/10/2015). Kendati demikian, menurut Wapres, Indonesia bisa memperluas pasar dan meningkatkan daya saingnya dengan bergabung dalam TPP. Ia juga menyampaikan bahwa pemerintah sudah bertahun-tahun melakukan perundingan dan pengkajian untuk bergabung dalam TPP.

"Sekarang kita melihat bahwa ini untuk meningkatkan daya saing kita dan memperluas pasar supaya nanti jangan nanti kita mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan negara-negara yang ikut TPP seperti Vietnam, Malaysia, di Amerika, di Jepang, jadi kita mempertimbangkan untuk bergabung," tutur dia. Dalam pertemuannya dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama di Gedung Putih, AS, Senin (26/10/2015) waktu setempat, Presiden Joko Widodo menyampaikan niat Indonesia untuk bergabung dalam Trans-Pacific Partnership (TPP).

Seperti dikutip dari siaran pers Tim Komunikasi Presiden, Jokowi menyampaikan bahwa ekonomi Indonesia adalah ekonomi terbuka, dengan kondisi bahwa Indonesia memiliki penduduk 250 juta jiwa. Menurut Presiden, dengan bergabung dalam TPP, sejumlah keuntungan didapat, seperti tarif yang rendah. Namun, di sisi lain, Indonesia juga harus mengikuti aturan main yang ditetapkan TPP, termasuk tarif murah dan tidak mengistimewakan badan usaha milik negara (BUMN).

TPP saat ini diikuti oleh 12 negara, yakni Brunei, Chile, Selandia Baru, Singapura, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko, Peru, dan Vietnam. "Pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia Merdeka seluruhnya"

Sekitar 67 tahun silam, tepatnya pada 2 September 1948, kata-kata itu disebutkan Bung Hatta untuk menunjukkan arah politik luar negeri Indonesia. Saat itu, bagi republik yang baru seumur jagung, arah begitu penting. Kekhawatiran diombang-ambingkannya republik di tengah perang dingin saat itu, Amerika dengan liberalisme-nya dan Uni Soviet dengan komunisme-nya, kian mencuat.

Tetapi Bung Hatta hadir, berdiri, menunjukan arah itu. Pidatonya yang berjudul "Mendayung di Antara Dua Karang" di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), diangap sangat penting bagi sikap luar negeri Indonesia. Kemandirian ekonomi yang tak bergantung kepada "karang-karang", jadi arah tujuannya.

"Sebagai bangsa kita harus punya prinsip. Kerjasama apapun, bila ada dua karang, lihat itu punya dampak positif enggak buat ekonomi kita. Kalau tidak kita harus tetap mendayung di tengah-tengah, enggak usah ke karang sini, enggak usah ke karang sana," ujar Pengamat Ekonomi Enny Sri Hartati.

Kekonyolan bisa saja terjadi kepada bangsa yang plin-plan menentukan arah kebijakan politik luar negeri dan ekonominya. Kini, arah itu kembali dipertanyakan saat ekonomi global dikuasai oleh dua negara adidaya yakni China dan AS.  Pertama, hubungan Pemerintah Jokowi dengan China terbilang sangat dekat. Dengan slogan poros maritim dunia, Indonesia tak mau ketinggalan kereta dalam upaya China membangun strategi baru infrastruktur Asia yang disebutnya yi lu yi dai (satu jalan satu sabuk).

Slogan itu pun menjadi rekat. Poros maritim nampak disambut baik oleh China dengan sabuk ekonomi jalan sutranya. Buktinya, Negeri Tirai Bambu ini menyatakan siap menggelontorkan dana 100 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.300 triliunan untuk investasi infrastruktur di Indonesia. Salah satunya proyek kereta cepatJakarta-Bandung.

Kedua, hubungan dengan Negeri Paman Sam tak jauh beda. Bahkan, kepada Presiden AS Barack Obama beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi blak-blakan ingin bergabung kedalam Trans Pasific Partnership (TPP) yang dipimpin AS. "Indonesia bermaksud untuk bergabung dalam Trans-pacific Partnership," kata Jokowi dalam jumpa pers bersama di Camera Spray, Gedung Putih, Senin (26/10/2015).  Arah pemerintah itu memantik kembali pertanyaan, kemanakah arah politik dan ekonomi bangsa yang kini sudah berumur 70 ini?

"Pertanyaanya gini, pemerintah sudah punya kalkulasi belum? Punya kajian belum? Ini konyol kalau suatu kebijakan diambil karena pesaing (dagang Indonesia) ikut TPP. 'Kalau enggak ikut, matilah kita', konyol kalau seperti itu," kata Enny. Sejak 4 tahun silam, AS memang sangat ingin menciptakan zona perdagangan bebas Trans-Pasifik. Oleh karena itulah, AS mendorong Jepang, mengupayakan kesepakatan antara 12 negara penggerak 40 persen ekonomi dunia yang tergabung dalam TPP.

Kerjasama Perdagangan TPP diyakini akan mengikat anggotanya sehingga tak memiliki keleluasaan dalam perdagangan global. Tak mau kalah, China juga mendorong pemberlakuan Kawasan Perdagangan Bebas di Asia Pasifik (FTAAP). Upaya itu jelas disampaikan dalam pertemuan puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-22 APEC di Beijing pada November 2014 lalu.

Hasilnya, para pemimpin APEC setuju perlunya upaya pencapaian FTAAP secara bertahap berdasarkan konsensus yang telah disepakati. Di tengah konstelasi politik global dan ekonomi saat ini, arah yang ditunjukan Bung Hatta 68 tahun silam itu masih lah relevan.  "Mendayung di antara dua karang itu masih sangat relevan buat kita. Saya kira, kita harus memikirkan sikap kita ke Eropa seperti apa, ke Asia Timur dan Amerika seperti apa," ujar Ekonom Universitas Indonesia, Berly Martawardaya. Sekarang, arah tersebut kembali ada di tangan pemerintah, tangan Presiden Jokowi. Lantas Pak Presiden, masih ingatkah arah yang ditunjuk Bung Hatta?

No comments:

Post a Comment