Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai dokter bisa menjadi agen praktik monopoli dalam pemasaran produk obat. Peluang itu muncul ketika dokter menuliskan resep obat tertentu untuk ditebus oleh pasien. “Saya katakan, istilah saya, monopoly by agent. Agent-nya itu dokter. Dokter berperan sebagai agent yang memonopoli,” ujar Komisioner KPPU Munrokhim Misanam ketika ditemui usai menghadiri “Public Hearing Industri Farmasi dalam Perspektif Persaingan Usaha” di Kantor KPPU, Jakarta, Kamis (19/11).
Munrokhim mengungkapkan selama ini apoteker memberikan obat sesuai resep dokter tanpa memberikan rekomendasi obat sejenis lain yang kemungkinan harganya lebih murah kepada pasien. Kondisi demikian, membuat pasien tidak memiliki pilihan atas produk obat yang dikonsumsi. Di sisi lain, sesuai Pasal 24 huruf b Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, apoteker bisa mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.
“Berarti pharmacist bisa mengganti obat tanpa harus izin dokter asalkan pasien mau. Dalam praktiknya, berdasarkan pengamatan kami, hal itu (penggantian obat) hanya terjadi manakala obat yang diresepkan oleh dokter itu di apotek itu nggak ada,” ujarnya. Selanjutnya, KPPU akan melakukan pertemuan lanjutan dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), asosiasi apoteker, serta pihak terkait lainnya untuk membahas kembali implementasi PP 51/2009. Dengan demikian, pasien tidak terkondisikan pada situasi pasar monopoli dan tetap memiliki pilihan atas obat yang akan dikonsumsi.
“Misalnya, diresepkan amoxicillin dengan tulisannya dokter, si pharmacist itu diminta atau diwajibkan untuk menginformasikan obat merek dagang lain yang isinya sama dengan begitu maka whatever the doctor prescribed namanya tapi keputusan tetap di tangan pasien berdasarkan atas bimbingan pharmacist,” ujarnya.
Di temui terpisah, Komisioner KPPU Sukarni mengungkapkan dokter bisa menjadi salah satu faktor mahalnya biaya obat yang harus dibayarkan seorang pasien. Hal itu terjadi ketika dokter merekomendasikan resep obat setelah sebelumnya melakukan kesepakatan dengan produsen obat terkait yang memiliki kekuatan untuk menentukan harga. “Selama ini sering muncul di permukaan itu adalah salah satu penyebab kemahalan adanya hubungan atau interaksi antara si dokter dengan pihak produsen. Itu kan banyak cara ya bagaimana mengikat dokter supaya membuat resep terhadap obat dengan merek-merek tertentu,” tutur Sukarni.
Hingga kini, KPPU masih melakukan pengawasan dan penyidikan terhadap mahalnya harga obat di dalam negeri. KPPU menduga ada tindakan praktik tidak sehat (kartel) yang dilakukan perusahaan farmasi sehingga masyarakat harus menanggung mahalnya harga obat di dalam negeri. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus adanya praktik bisnis yang tak sehat di industri farmasi nasional. Pasalnya, tingginya pertumbuhan bisnis obat dengan kapitalisasi industri farmasi yang cukup besar tidak dibarengi dengan kemudahan akses masyarakat terhadap obat murah dan pelayanan kesehatan.
Dalam keterangan tertulisnya, KPPU meramalkan jumlah penduduk Indonesia pada 2019 akan menembus angka 268 juta jiwa, meningkat lebih dari 6 persen dibandingkan posisi akhir tahun lalu 252,12 juta jiwa. Potensi pertumbuhan penduduk ini dinilai KPPU menjadi peluang bagi pelaku usaha untuk berkembang, khususnya di bidang industri kesehatan.
Berdasarkan catatan KKPU, omzet yang dibukukan industri farmasi di Indonesia pada 2014 sebesar Rp 52 triliun. Angka tersebut diprediksi 11,8 persen pada tahun ini menjadi Rp 56 triliun. Sementara itu, obat-obatan dengan resep dokter berkontribusi sebesar 59 persen dan obat bebas atau generik sebesar 41 persen dari keseluruhan pasar.
Dari nilai kapitalisasi industri tersebut, perusahaan farmasi nasional menguasai pangsa pasar sebesar 70 persen dan 30 persen sisanya dikuasai oleh perusahaan farmasi asing. "Namun demikian perkembangan industri farmasi tersebut di atas ternyata tidak berbanding lurus dengan kemudahan akses masyarakat Indonesia terhadap obat murah dan pelayanan kesehatan yang terjangkau," tulis KPPU dalam rilisnya dikutip Kamis (19/11). Terkait tingginya harga obat, secara khusus Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan KPPU untuk memeriksa alur jual beli obat di Indonesia.
Menindaklanjuti hal tersebut, KPPU akan menggelar rapat dengar pendapat dengan mengundang sejumlah instansi terkait, antara lain Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Kementerian Perindustrian, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, World Health Organization (WHO) dan Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI)
No comments:
Post a Comment