Pengusaha di sektor hulu tekstil seperti benang, serat, polyester, dan pemintalan paling terkena dampak kenaikan listrik. Kenaikan ini jauh lebih memberatkan ketimbang kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
Di awal tahun ini, buruh beramai-ramai menuntut kenaikan UMP dan akhirnya disetujui. Itu jelas menyebabkan biaya produksi yang naik. Di pertengahan tahun, sektor usaha kembali dibebani dengan keputusan pemerintah terkait kenaikan tarif listrik untuk industri golongan I3 dan I4 yang berlaku 1 Mei 2014.
"Kalau kita lebih milih upah buruh dinaikkan dibanding energi, yang naiknya lebih besar," kata Sekretaris Jenderal Indonesian Synthetic Fiber Maker Association Redma Gita Wiraswasta, Kamis (24/4/2014). Redma beralasan, kenaikan listrik yang telah diputuskan pemerintah sangat memberatkan besarannya.
Jika tahun depan ada kembali ada kenaikan upah buruh lebih dari 5%, dia memperkirakan industri di sektor ini akan terkikis habis karena tak lagi mampu bersaing di tengah biaya produksi yang terus melonjak. "Kalau UMP kita naik Januari dinaikin lagi, pasti mati perusahaan, jadi double. alau nggak naik, atau di bawah 5%, bisa seimbang lagi dengan produk impor," katanya.
"Jadi kalau nanti diberlakukan UMP naik, kita akan fight (lawan) itu," katanya. Pada dasarnya para pengusaha mengapresiasi niat pemerintah mengurangi subsidi energi. Tapi kenaikannya tidak terlalu besar dan diberlakukan secara bertahap. Dan lagi menurutnya, seolah tak adil karena listrik untuk rumah tangga yang lebih banyak penggunanya masih disubsidi.
"Subsidi ini menjadi beban, sudah waktunya dihapus. Yang bikin nggak adil itu penghapusan subsidi hanya diberikan I4 dan I3," tegasnya. Para pelaku usaha tekstil dan produk tekstil (TPT) sepakat untuk menaikan harga jual produknya. Kenaikan harga disebabkan akan naiknya harga listrik bagi kalangan industri terutama golongan I-3 dn I-4.
"Yang jelas dampak kenaikan listri, harga jual produk akan dinaikan 9-11%. Semua sepakat tadi dalam rapat," ungkap Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy saat ditemui usai rapat dengan pelaku usaha TPT sore ini di Grand Slipi, Tower, Jakarta, Kamis (24/04/2014).
Menurut Ismy, listrik adalah salah satu komponen utama produksi TPT. Selain listrik, para pelaku usaha juga disulikan dengan main mahalnya barang modal seperti kain/benang dan tenaga kerja. Rinciannya bahan baku tekstil menyumbang 50% dari faktor produksi, energi (termasuk di dalamnya listrik) 25% dan tenaga kerja (25%).
"Bahan baku ada kenaikan hingga 15%, belum lagi tenaga kerja yang diberi upah per bulan rata-rata Rp 3 juta/karyawan," imbuhnya. Dengan makin mahalnya harga tekstil buatan dalam negeri, ia takut daya saing produk TPT Indonesia berkurang. Sehingga serbuan barang impor mau tidak mau harus diwaspadai karena harga yang jauh lebih murah.
"Akhirnya harus impor karena selisih harga yang cukup besar. Sudah kalah daya saing produk TPT kita dengan yang impor," katanya. Ke depan, pemerintah yang baru harus menjaga daya saing produk TPT Indonesia. Jangan sampai kenaikan upah tenaga kerja dan listrik kembali terjadi di tahun mendatang.
"Kebijakan pemerintah masih menjadi masalah karena masih menambah costproduksi. Pemerintah baru mendatang harus menjaga 2 hal yaitu energi dan tenaga kerja. Kalau sering diganggu dengan isu kenaikan maka kita tidak akan mampu bermain di tingkat global," sebutnya.
No comments:
Post a Comment