Produk tekstil Indonesia dinilai semakin tak kompetitif di pasar Amerika Serikat dan Eropa. Sebab, sampai saat ini Indonesia belum masuk dalam komunitas Trans-Pacific Partnership (TPP) yang memberikan pengurangan bea masuk bagi anggotanya.
Misalnya, setelah bergabung dalam TPP, Vietnam mendapat keistimewaan pengurangan bea masuk 5-12 persen untuk produknya yang diekspor ke Amerika. Sedangkan Indonesia sampai sekarang masih terkena bea masuk 12-31 persen. “Jelas kita kalah bersaing,” kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat, Senin, 14 April 2014.
Karena itu, pengusaha tekstil mendesak pemerintah agar melobi Amerika. Tujuannya, supaya Indonesia segera masuk dalam TPP. Akibat tak kunjung diterima dalam TPP, angka ekspor tekstil Indonesia kalah jauh dibanding Vietnam. “Padahal kita sudah jadi produsen tekstil sejak 1980-an, sedangkan Vietnam baru mulai 2000-an,” Ade menambahkan.
Selain Amerika, Ade meminta pemerintah segera bernegosiasi dengan Uni Eropa. Sebab, Uni Eropa termasuk pasar kedua terbesar untuk tekstil Indonesia setelah Amerika. “Seperti negosiasi dengan Jepang yang sudah lebih dulu membuahkan hasil. Sekarang ekspor tekstil ke Jepang ada peningkatan,” ujar dia.
Berdasarkan dokumen API, setelah Indonesia-Jepang meneken Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), ekspor tekstil ke Negeri Sakura itu meningkat. “Lumayan ada kenaikan sampai 3 persen,” ujar Ade.
Menurut data asosiasi tersebut, sejak 2007 pangsa pasar tekstil Indonesia di pasar internasional hanya sekitar 1,69 persen. Sampai tahun lalu, angka itu tak kunjung naik signifikan. “Sekarang pangsa pasar tekstil kita di kisaran 1,8 persen,” kata Ade lagi.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian mendorong industri tekstil nasional mengarahkan produksinya ke produk bernilai tambah. Dengan memproduksi tekstil yang bukan sekadar garmen biasa, daya saing produk diharapkan meningkat. “Kalau memproduksi technical textile juga bisa dapat tax allowance,” kata Elis Masitoh, Kepala Subdit Industri Pakaian Jadi dan Tekstil, Kementerian Perindustrian.
No comments:
Post a Comment