Penghapusan subsidi bahan bakar minyak dinilai merupakan solusi paling ideal untuk menekan besarnya beban subsidi. Namun, langkah itu memerlukan kemauan dan keberanian pemerintah.
”Pendapat saya pribadi, paling ideal itu BBM bersubsidi dihilangkan. Itu idealnya kalau pemerintah mau dan berani melakukannya. Namun, itu perlu pertimbangan politik yang besar,” kata Menteri Perindustrian MS Hidayat, di Jakarta, Jumat (11/4/2014).
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Sudirman MR yang Jumat kemarin bertemu Hidayat di Kemenperin.
Sudirman menjawab wartawan yang menanyakan solusi dari pihak produsen yang dapat memastikan agar tidak ada lagi penggunaan BBM bersubsidi oleh pengguna mobil murah hemat energi (low cost green car/LCGC).
”Solusinya, kalau menurut saya, hilangkan BBM bersubsidi. Sekarang, kan, timbul polemik terus. Pendapat saya pribadi, orang yang bisa membeli mobil juga bisa membeli BBM nonsubsidi,” kata Sudirman.
Sudirman mengatakan, penggunaan BBM nonsubsidi tentu akan meningkatkan biaya yang ditanggung pengguna mobil. Namun, persoalan itu dapat disiasati dengan mengatur penggunaan kendaraan tersebut.
Menurut Sudirman, selama ini produsen pun sudah mengimbau dan menggiring pengguna mobil hemat agar menggunakan BBM nonsubsidi di kendaraannya. Caranya dengan mencantumkan hal tersebut di buku manual dan stiker yang dipasang di tutup tangki BBM kendaraan.
”Selain itu, fuel inlet (lubang tangki bahan bakar) untuk Ayla dan Agya, sejak mulai dipasarkan, sudah dibuat kecil untuk diisi Pertamax atau Pertamax Plus,” kata Sudirman.
Payung hukum
Terkait dengan tudingan berbagai pihak bahwa pengguna mobil hemat masih menggunakan BBM bersubsidi, Sudirman menyatakan tidak tahu karena produsen tidak bisa mengawasinya di lapangan.
”Kami tak tahu apakah mereka mengisinya menggunakan alat bantu atau apa? Oleh karena itu, butuh payung hukum untuk mengatur siapa yang akan mengawasi pelaksanaannya di lapangan,” kata Sudirman.
Terkait dengan payung hukum ini, MS Hidayat, yang ditemui terpisah, mengatakan, nantinya diharapkan ada batasan jelas mengenai kendaraan yang boleh dan tidak boleh memakai BBM bersubsidi.
Hidayat menuturkan, payung hukum tersebut akan dirancang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atau Menteri Dalam Negeri. ”Kami juga segera menetapkan peraturan teknis, yakni menyangkut pembuatan lubang masukan untuk nozel (mulut selang) berukuran khas dan stiker. Sekarang ini baru untuk mobil hemat saja,” kata Hidayat.
Hidayat menuturkan, pihaknya dalam waktu dekat juga akan bertemu Direktur Utama Pertamina terkait dengan penyiapan pengaturan ukuran mulut selang di stasiun pengisian BBM.
Ditanya apakah nantinya pemerintah juga akan mengatur ukuran lubang masukan untuk kendaraan selain mobil hemat, Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin Budi Darmadi mengatakan, hal itu bergantung pada payung hukum yang dibuat.
”Kalau nanti ada payung hukum yang membatasi pemakaian BBM bersubsidi untuk kendaraan pribadi, peraturan teknis Kemenperin akan mengikutinya,” katanya.
Secara terpisah, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo menyatakan, sejauh ini belum ada dasar hukum pelarangan pemakaian BBM bersubsidi bagi mobil murah hemat energi.
Keberadaan mobil murah itu berpotensi menambah konsumsi BBM bersubsidi. Misalnya, jika estimasi konsumsi BBM 1.000 liter per tahun atau 80 liter per bulan dan jumlah mobil murah 100.000 per unit, tambahan konsumsi BBM bersubsidi sekitar 100.000 kiloliter.
No comments:
Post a Comment