Pengamat menyatakan ekonomi Tiongkok kehilangan momentum pada kuartal I 2014 dan meleset dari target pemerintah. Apa yang sebenarnya terjadi pada ekonomi terbesar kedua dunia ini? Produk domestik bruto (PDB) Tiongkok diprediksi mencapai 7,3 persen pada kuartal I 2014.
Para ekonom yang disurvei CNN Money, juga memprediksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun 2014 mencapai 7,3 persen, di bawah target pemerintah yang mencapai 7,5 persen.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok sangat dicermati terkait upaya pemerintah melakukan reformasi ekonomi setelah bertahun-tahun "lari kencang." Perlambatan memang sangat terlihat.
PDB Tiongkok tercatat sebesar 7,7 persen dalam dua tahun terakhir, dibandingkan 9,3 persen pada tahun 2011 dan 10,5 persen di tahun 2010. Pemerintah Tiongkok menyatakan, nyaman dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 7,5 persen.
"Pemerintah telah menggarisbawahi bahwa menjaga pertumbuhan adalah tujuan ekonomi terpenting. Pemerintah pun telah mulai mengambil langkah yang tak ambisius untuk mendukung pertumbuhan," kata Ekonom RBS Louis Kuijs.
Selama tiga kuartal terakhir, beberapa ekonom, menyatakan pertumbuhan kredit masih menjadi tantangan terbesar perekonomian Tiongkok. Ini adalah akar dari berbagai tantangan yang dialami Negeri Tirai Bambu itu.
Ekonom Societe Generale Wei Yao mengatakan, pemerintah Tiongkok harus mengerem pertumbuhan kredit, walaupun berarti akan berdampak pada menurunnya investasi domestik. Beberapa permasalahan lain adalah pasar properti yang overheat dan meningkatnya volatilitas mata uang yuan.
"Intinya adalah tidak ada jalan keluar yang mudah untuk keluar dari masalah yang dihadapi Tiongkok," ujar Ekonom Daiwa Lai dan Tang.
Dampak bagi Indonesia
Perlambatan ekonomi Tiongkok tentu saja akan berdampak kepada negara-negara yang menggantungkan nasib ekspornya ke Tiongkok, termasuk Indonesia. Tiongkok adalah konsumen terbesar produk-produk ekspor Indonesia, terutama komoditas.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Solikin M Juhro beberapa waktu lalu mengaku pihaknya masih memandang kondisi di Tiongkok masih dicermati menjadi faktor yang dapat memberikan risiko perlambatan. Sebab, hal ini berkaitan dengan ekspor komoditas Indonesia.
"Tiongkok kenapa penting? Karena saat ini kan dia ingin soft landing. Perlambatan di Tiongkok mempengaruhi harga komoditas internasional. CPO, karet, timah itu kan konsumen tetbesarnya Tiongkok. Kalau Tiongkok melambat maka ekspor komoditas kita akan terpengaruh," jelasnya.
Sementara itu, Bank Pembangunan Asia (ADB) memprediksi perlambatan ekonomi Tiongkok akan berpengaruh pada volume ekspor Indonesia.
"Pertumbuhan akan lebih flat. Negara yang penting dicatat adalah Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan melemah karena ada penurunan pertumbuhan kredit. Dengan demikian pertumbuhan ekspor kita akan tertahan," kata Deputy Country Director ADB untuk Indonesia Edimon Ginting.
Pelambatan ekonomi Tiongkok menjadi perhatian pemerintah. Tadi malam, Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) pun melakukan pertemuan di Kantor Kementerian Keuangan.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Bambang PS Brodjonegoro mengungkapkan, FKSSK memandang hingga saat ini kondisi di Tiongkok tidak seburuk perkiraan. Namun, FKSSK akan tetap terus waspada.
"Hasil rapat (FKSSK) terkait laporan dari pertemuan ASEAN kemarin di Myanmar. Intinya kondisi bagus, stabil cuma kita terus mewaspadai pelemahan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok sertadownset risk global," kata Bambang seusai rapat FKSSK, Senin (8/4/2014) malam.
Lebih lanjut, Bambang mengungkapkan, pelambatan ekonomi Tiongkok merupakan kondisi yang disengaja oleh Pemerintah Negeri Tirai Bambu tersebut guna menjaga perekonomiannya.
"Pelemahan pertumbuhan mereka by design, untuk menjaga ekonominya sendiri. Mereka takut kalau inflasinya terlalu tinggi," ujarnya.
Ia tak memungkiri kondisi Tiongkok dperkirakan memang berpengaruh pada ekspor. "Ya besar tapi Tiongkok sendiri bilang ke kita di-meeting, Tiongkok ini berubah dari yang tadinya investasi menjadi konsumsi domestik. Kayak negara kita sekarang ini," kata dia.
Rapat FKSSK berlangsung dari sekitar pukul 19.30 hingga pukul 22.00. Dalam rapat hadir antara lain Menteri Keuangan Chatib Basri, Wakil Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo.
Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Solikin M Juhro mengatakan, bank sentral masih optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2014 masih berada di kisaran 5,5 hingga 5,9 persen. Sementara inflasi masih dipatok pada kisaran 4,5 plus minus 1 persen.
Namun demikian, terdapat beberapa risiko global yang masih menjadi tantangan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu risiko tetsebut adalah pelambatan ekonomi Tiongkok pada tahun 2014 ini.
"Risikonya adalah prospek kebijakan The Fed dan rebalancingekonomi Tiongkok. Kita melihat konteks risiko ada terkait dengan perkembangan harga komoditas global," kata Solikin pada diskusi "Menyongsong Peta Baru Kebijakan Ekonomi Indonesia" di Jakarta, Senin (7/4/2014).
BI, sebut Solikin, memandang kondisi di Tiongkok tersebut perlu dicermati menjadi faktor yang dapat memberikan risiko perlambatan. Sebab, hal ini berkaitan dengan ekspor komoditas Indonesia.
"Tiongkok kenapa penting? Karena saat ini kan dia ingin soft landing. Pelambatan di Tiongkok mempengaruhi harga komoditas internasional. CPO, karet, timah itu kan konsumen tetbesarnya Tiongkok. Kalau Tiongkok melambat maka ekspor komoditas kita akan terpengaruh," papar dia.
Beberapa waktu lalu, Bank Pembangunan Asia (ADB) memprediksi perlambatan ekonomi Tiongkok akan berpengaruh pada volume ekspor Indonesia.
"Pertumbuhan akan lebih flat. Negara yang penting dicatat adalah China (Tiongkok). Pertumbuhan ekonomi China akan melemah karena ada penurunan pertumbuhan kredit. Dengan demikian pertumbuhan ekspor kita akan tertahan," kata Deputy Country Director ADB untuk Indonesia Edimon Ginting.
No comments:
Post a Comment