Pemerintah berencana untuk menghapuskan bea masuk impor kakao dari yang tadinya 5 persen menjadi nol persen. Alasannya, untuk memenuhi kebutuhan industri yang diperkirakan mencapai 800.000 ton per tahun.
Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar. Namun, sebenarnya berapa besar yang bisa diproduksi? Apakah itu kurang, sehingga pemerintah berhasrat memperlonggar importasi kakao?
Menteri Perdagangan, M Lutfi, dalam kesempatan Media Gathering Wartawan Kemendag, Sabtu (12/4/2014) mengakui, data produksi kakao saat ini sangat beragam. Namun demikian, dia memastikan data yang dihimpun Kemendag adalah data riil yang akurat dari sektor perkebunan kakao.
"Memang produksinya 750.000 ton, tapi petani ini konvensional, dan tidak menjemur kakaonya. Tidak ada fermentasi, semuanya, kakao, ulat, batu langsung dimasukkan karung. Dari yang sebanyak itu, berapa yang dimakan hama, ulat? Separuhnya habis dimakan hama ulat," jelasnya.
Setidaknya, produksi kakao setelah dimakan hama hanya sebesar sekira 450.000 ton. Padahal, kebutuhan industri hilir kakao lebih dari 700.000 ton. Dia mengatakan, beberapa negara tujuan ekspor kakao memang membutuhkan kakao non fermentasi. Seperti misalnya Amerika Serikat.
Untuk menekan ekspor berlebih, pemerintah pernah memiliki instrumen bea keluar ekspor kakao. Harapannya, produksi kakao dapat lebih diprioritaskan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Permasalahannya, di sisi lain, industri coklat membutuhkan tidak hanya satu jenis coklat. Coklat yang dijual di pasaran, umumnya sudah hasil blending atau campuran berbagai jenis kakao.
Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi yang turut hadir dalam kesempatan tersebut menambahkan, soal bea masuk atau bea keluar kakao memang masih dikaji pemerintah.
"Tapi yang jelas kita butuh kakao dari luar untuk blending. Begitu juga kakao Indonesia dibutuhkan luar untuk blending," ucap Bayu.
No comments:
Post a Comment