Tuesday, March 6, 2012

Mengangkat Derajat Jamu Tradisional Melalui Sistem Pemasaran Yang Tepat

 Abidinsyah Siregar, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer Kementerian Kesehatan, mengaku kecewa. Ia tak habis pikir mengapa pengobatan tradisional hingga saat ini masih dipandang sebelah mata.

"Padahal keberadaan kami saat ini kan bukti historis dari pelayanan kesehatan masa lalu, ketika dokter belum ada, rumah sakit belum ada. Tapi kami eksis sebagai manusia," kata Abidin dalam temu media di Kementerian Kesehatan pada Jumat lalu. "Seandainya pengobatan tradisional itu disebut gagal, kita enggak ada dong hari ini. Cuma kenapa kita abaikan?" ujarnya.

Kekecewaan Abidin cukup beralasan. Maklum, di antara beragam kekayaan sumber daya alam hayati, Indonesia memiliki sekitar 30 ribu jenis tumbuhan. Dari angka itu, sekitar 7.000 tumbuhan berkhasiat mengobati penyakit. Sekitar 90 persen spesies tumbuhan obat ada di kawasan Asia. Namun, yang membuat miris, hingga kini hanya ada enam obat yang bahan dasarnya diambil dari tumbuhan tersebut. Keenam jenis obat itu disebut fitofarmaka, yaitu obat tradisional yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji pra-klinik dan uji klinik. Bahan baku dan produk jadinya juga telah distandardisasi.

Di bawah fitofarmaka, terdapat obat herbal terstandar (OHT) yang berjumlah 38 merek. Keamanan dan khasiat obat ini sudah dibuktikan secara ilmiah dengan uji pra-klinik, meskipun belum menjalani uji klinik. Selebihnya, yang banyak terdapat di masyarakat adalah golongan jamu-jamuan yang khasiatnya belum dibuktikan secara ilmiah, tapi lebih kepada pengalaman empiris.

"Sudah banyak itu jamu. Jangan (statusnya) jamu terus. Masuk ke OHT dan obat fitofarmaka, dong. Kalau nanti sudah sampai 1.000 jenis, saya yakin obat-obat di toko isinya dari herbal tradisional semua," kata Abidin.

Saat ini, menurut dia, Bidang Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan telah melakukan saintifikasi terhadap empat ramuan, yaitu formula antihipertensi, antidiabetes, antikolesterolinia, dan formula antilipidemia. Langkah ini dinilai penting karena potensi formula obat-obatan dari tumbuhan sangat menjanjikan. Sebagai gambaran, di Amerika Serikat, ada 45 macam obat penting berasal dari tumbuhan, 14 spesies di antaranya berasal dari Indonesia, termasuk vinblastine dan vincristine(obat antikanker) dari tapak dara.

Menurut Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Slamet Riyadi Yuwono, berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 80 persen populasi di Asia dan Afrika bergantung pada pengobatan tradisional. WHO pun mengakui obat-obatan tradisional dapat mengobati berbagai penyakit infeksi dan penyakit kronis. Misalnya, tanaman qinghaosu (yang mengandung artemisinin) untuk obat antimalaria yang telah digunakan di Cina sejak 2.000 tahun silam.

Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia juga tak main-main. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2010, sebanyak 55,3 persen penduduk Indonesia menggunakan ramuan tradisional untuk memelihara kesehatan mereka. "Dan 95,6 persen mengakui ramuan tradisional yang digunakan sangat bermanfaat bagi kesehatan," kata Slamet.

Pemerintah pun tidak memandang sebelah mata ihwal efektivitas pengobatan tradisional ini. Kementerian Kesehatan melalui Sistem Kesehatan Nasional 2009 telah memasukkan pengobatan tradisional, alternatif, dan komplementer sebagai bagian dari subsistem upaya kesehatan. Bahkan pelayanan kesehatan tradisional ini masuk dalam rencana strategis Kementerian Kesehatan berupa pengintegrasian ke dalam pelayanan di rumah sakit. Saat ini tercatat ada 46 rumah sakit yang mengintegrasikan pelayanan kesehatan tradisional.

"Menghadirkan jamu-jamuan di rumah sakit butuh waktu lama," kata Slamet. "Sebab harus berdebat dulu untuk meyakinkan para profesor yang pendidikan kedokterannya lebih banyak mengadopsi Barat." Toh, Slamet dan koleganya di Kementerian Kesehatan, termasuk Abidin, tak akan surut melangkah. 

No comments:

Post a Comment