Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi Juni 2016 atau sepanjang Ramadan akan berada di level 0,56 persen. Angka ini meningkat tipis dari realisasi periode yang sama tahun lalu, 0,54 persen. “Di minggu ke-3, hasil survei BI memperkirakan inflasi Juni ini ada di kisaran 0,56 persen. Tentu kami nanti masih akan lihat karena kan masih ada sepuluh hari lagi menjelang lebaran,” tutur Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo, Jumat (24/6).
Sebelumnya, pada minggu ke-2 lalu, BI memproyeksikan tingkat inflasi bulan Juni ada di level 0,61 persen. Agus mengungkapkan, pemicu inflasi yang perlu diwaspadai masih berasal dari bahan pangan (volatile food) terutama daging ayam dan telur ayam. Kementerian Perdagangan mencatat, rata-rata harga daging ayam nasional ada di level Rp31.980 per kilogram (kg) dan telur ayam ada di level Rp23.810 per kg. “Tetapi ada tiga (harga bahan pangan) yang juga perlu diperhatikan, yaitu harga beras, gula, dan harga cabai,” ujar mantan Menteri Keuangan ini.
Sementara, harga bawang merah yang sempat melonjak beberapa waktu lalu telah mengalami deflasi. Center of Reform on Economics (CORE) memprediksi terjadinya peningkatan inflasi dalam dua bulan ke depan seiring dengan meningkatnya permintaan selama puasa dan menjelang lebaran.
Mohammad Faisal, Direktur Riset CORE Indonesia menurutkan, terhitung sejak 10 juni 2016 hingga lebaran akan terjadi inflasi sekitar 0,59 persen, sedikit meningkat dibandingkan dengan masa puasa tahun lalu yang sebesar 0,5 persen. Prediksi tersebut merupakan hasil riset CORE Indonesia mengenai perkembangan harga-harga barang dan jasa.
"Dari sini kami mengasumsikan kalau di bulan Juli, inflasi bulanan kita akan meningkat ke 1 persen," papar Faisal dalam diskusi bersama Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Selasa (14/6).
Menurutnya, asumsi ini berdasarkan angka inflasi bulanan pada Juli 2015 yang hampir mencapai 1 persen sehingga inflasi bulkan depan sangat kemungkinan besar menembus 1 persen. "Ini dipicu oleh kenaikan harga bahan pangan dan kenaikan harga makanan dan minuman jadi yang diperkirakan berada di atas 1 persen," ujar Faisal.
Bahkan, lanjutnya, inflasi pangan di Indonesia pada Mei 2016 menempati urutan pertama jika dibandingkan dengan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, yang rata-rata 7,8 persen. Di tempat kedua, ialah Turki dengan inflasi pangan sebesar 2,5 persen dan Pakistan 0,6 persen di tempat ketiga.
Faisal menyatakan faktor pendorong peningkatan harga bahan pangan lokal dipicu dari dua sisi, yakni berdasarkan permintaan dan penawaran. Dari sisi penawaran dipicu oleh perbedaan pasokan terhadap permintaan, adanya ketidaklancaran distribusi antar daerah, serta adanya permainan harga oleh spekulan, kasus kartel, dan lainnya.
Sedangkan dari sisi permintaan, lanjutnya, dipicu oleh faktor peningkatan pendapatan jelang pemberian tunjangan hari raya (THR) kalangan pekerja. Faktor lainnya, dipaparkan Faisal, ketidaksesuaian data ketersediaan bahan pangan yang dimiliki oleh Kementerian/Lembaga (K/L), serta langkah-langkah stabilisasi harga yang kurang efektif.
Peningkatan inflasi, menurut Faisal, dapat diatasi dengan melakukan perlindungan terhadap komoditas pangan strategis hingga penyusunan peraturan pelaksana sebagai realisasi dari Undang Undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 yang mewajibkan pemerintah menjamin pasokan dan harga barang kebutuhan pokok.
"Sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana negara tetangga melakukan perlindungan terhadap harga dan stok pangan mereka, misalnya Malaysia dan Jepang. Untuk UU, nantinya diharapkan UU ini dapat mengatur pasokan, harga, hingga distribusi bahan pangan ke masyrakat," tutup Faisal. Untuk itu, ia mengingatkan agar pemerintah menjaga akurasi data pangan, dan memperkuat peran Perum Bulog, serta membenahi dan meningkatkan pengawasan jalur distribusi.
No comments:
Post a Comment