Menyikapi keputusan S&P tersebut, Pramono mengatakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution langsung menggelar rapat evaluasi guna merumuskan langkah-langkah perbaikan. menurutnya, persoalan fiskal tak hanya menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Indonesia, tetapi juga menjadi masalah serius di banyak negara. "Ini persoalan dunia karena perlambatan ekonomi yang begitu luar biasa, yang terjadi di China, Argentina, Rusia, Brazil, sehingga membuat persoalan fiskal ini menjadi persoalan serius," tuturnya.
Namun, Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut menilai Indonesia masih beruntung meski gagal mendapat peringkat kredit layak investasi dari S&P. Pasalnya, perekonomian nasional masih tumbuh di kisaran 5 persen atau lebih baik dibandingkan banyak negara, sehingga lembaga pemeringkat lain seperti Fitch dan Moody's mau memberikan predikat layak investasi buat Indonesia.
"Katakanlah kita memang belum sampai pada yang diharapkan, investment grade, tapi tetap (ratingkredit Indonesia) BB+," jelasnya. Pramono Anung menilai, perbaikan status S&P sangat penting karena mewakili persepsi dunia terhadap Indonesia. Hal ini terkait pula dengan upaya pemerintah memperbaiki rangking kemudahan berusaha (ease of doing business) yang saat ini bertengger di posisi 109 dari 189 negara di dunia.
"Yang paling penting kalo persoalan ease of doing business-nya bisa dilakukan perbaikan sehingga kita rangkingnya bisa seperti yang diharapkan presiden yaitu 40," tandas Pramono. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mempertanyakan penilaian lembaga pemeringkat kredit internasional Standard and Poor's (S&P) atas ratingsurat utang pemerintah tahun ini. "Kami pertanyaan karena alasan S&P ini kebanyakan sama dengan alasan-alasan sebelumnya. Kami tidak melihat sesuatu yang baru," tutur Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro di Gedung DPR, Kamis(2/6).
Menurut Bambang, jika menggunakan pembanding rasio utang dan jumlah pinjaman, ada negara-negara yang sudah mendapatkan rating layak investasi (investment grade) dari S&P meskipun rasio utang terhadap PDB maupun defisitnya lebih jelek dibandingkan Indonesia.
Kendati demikian, Bambang menilai rating BB+ dengan outlook positif dari lembaga pemeringkat asal Amerika Serikat itu cukup baik di tengah melambatnya perekonomian dunia. "Di tengah kondisi ekonomi global di mana banyak sekali negara emerging yang down grade, kami melihat posisi S&P ini cukup baik," ujarnya. Lebih lanjut, Bambang menilai rating S&P tidak berpengaruh terhadap pendapat investor terhadap surat utang Indonesia.
"Kebetulan tim kami masih di Eropa untuk roadshow dari euro bond, dan begitu tanggapan S&P keluar, semua tanggapan dari investor adalah mereka tidak mempedulikan hitungan S&P dan tetap berpendapat surat utang Indonesia adalah surat utang yang layak, setara dengan invesment grade," ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku tidak puas dengan penilaian lembaga pemeringkat kredit internasional Standard and Poor’s (S&P). Tahun ini, Indonesia masih belum mendapatkan peringkat layak investasi (investment grade) karena masih mengantongi rating BB+ dengan outlook positif. “Soal hasil penilaian itu kami lebih banyak dibilang tidak puas,” tutur Darmin saat ditemui di kantornya, Kamis (2/6).
Darmin menyatakan belum membaca secara detail penilaian S&P. Namun, menurut Darmin, pemerintah telah menjelaskan dan mengkomunikasi dengan baik upaya perbaikan yang telah dilakukan saat menerima kunjungan tim penilai S&P pertengahan Mei lalu.
Tidak heran jika kemudian pemerintah berharap S&P bisa menaikkan peringkat Indonesia menyamai Fitch dan Moody’s yang telah lebih dulu memberikan peringkat investment grade. “Dari dulu memang S&P punya penilaian sendiri. Dari dulu Fitch dan Moody’s sudahinvestment grade, yang S&P ini belum,” ujar mantan Gubernur BI ini.
Lebih lanjut, Darmin enggan mengomentari kritik S&P soal belum membaiknya kinerja fiskal. Darmin menduga, S&P masih menunggu efektivitas kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) jika mendapatkan persetujuan DPR. “Alasan itu boleh dibikin seribu macam tapi ya sebetulnya apa di belakang semuanya. Kalau dugaan saya, dia (S&P) mau menunggu, melihat tax amnestyini dapatnya berapa,” ujarnya.
Darmin menyadari jika kebijakan tax amnesty tak berjalan maka akan menimbulkan masalah. Sayangnya, ia belum bersedia merinci permasalahan apa yang dimaksud. “Kalau (tax manesty) itu tidak tercapai, itu juga masalahnya jadi banyak,” ujarnya. Sebagai informasi, untuk masuk dalam kategori layak investasi, peringkat S&P Indonesia paling tidak harus naik sepertiga menjadi BBB-.
Darmin menyatakan belum membaca secara detail penilaian S&P. Namun, menurut Darmin, pemerintah telah menjelaskan dan mengkomunikasi dengan baik upaya perbaikan yang telah dilakukan saat menerima kunjungan tim penilai S&P pertengahan Mei lalu.
Tidak heran jika kemudian pemerintah berharap S&P bisa menaikkan peringkat Indonesia menyamai Fitch dan Moody’s yang telah lebih dulu memberikan peringkat investment grade. “Dari dulu memang S&P punya penilaian sendiri. Dari dulu Fitch dan Moody’s sudahinvestment grade, yang S&P ini belum,” ujar mantan Gubernur BI ini.
Lebih lanjut, Darmin enggan mengomentari kritik S&P soal belum membaiknya kinerja fiskal. Darmin menduga, S&P masih menunggu efektivitas kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) jika mendapatkan persetujuan DPR. “Alasan itu boleh dibikin seribu macam tapi ya sebetulnya apa di belakang semuanya. Kalau dugaan saya, dia (S&P) mau menunggu, melihat tax amnestyini dapatnya berapa,” ujarnya.
Darmin menyadari jika kebijakan tax amnesty tak berjalan maka akan menimbulkan masalah. Sayangnya, ia belum bersedia merinci permasalahan apa yang dimaksud. “Kalau (tax manesty) itu tidak tercapai, itu juga masalahnya jadi banyak,” ujarnya. Sebagai informasi, untuk masuk dalam kategori layak investasi, peringkat S&P Indonesia paling tidak harus naik sepertiga menjadi BBB-.
No comments:
Post a Comment