Friday, June 3, 2016

Kualitas Daging Import Dibawah Rp. 80.000 Per Kg Tidak Dapat Dibuat Rendang dan Rawon

Untuk menekan harga daging sapi hingga di bawah Rp 80.000/kg, khususnya saat puasa dan Lebaran, pemerintah memutuskan untuk mengimpor 27.400 ton daging secondary cut. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir Daging Sapi (Aspidi), Thomas Sembiring mengungkapkan, daging impor tidak efektif untuk menekan harga daging. Pasalnya, daging yang diimpor merupakan daging kualitas lebih rendah ketimbang daging yang selama ini dijual di pasar.

"Nggak mungkin Rp 80.000/kg kalau dagingnya buat rendang, sementara orang Lebaran atau puasa cari daging yang buat rendang dan gulai," jelas Thomas di acara diskusi Rasionalitas Harga Daging Sapi, Cikini, Jakarta, Jumat (3/6/2016). Menurutnya, jika mengacu pasar daging impor asal Australia, daging yang bisa dijual di bawah harga Rp 80.000/kg adalah daging dari jenis 85 CL yang saat ini dibanderol seharga Rp 63.000/kg. Itu setelah dipotong biaya handling pelabuhan, dan bea masuk.

"Yang paling rasional daging 85 CL yang daging samping paha dengan banyak lemak. Itu modal pengusaha buat jual di sini. Tapi itu nggak bisa buat rendang, kalau buat rawon bisa. Sementara orang sudah terbiasa dengan daging baik dari pasar," ujar Thomas. Dia melanjutkan, untuk alternatif daging yang saat ini banyak dikonsumsi di Indonesia, paling tidak dipakai jenis daging Knuckle yang dipatok seharga Rp 76.000/kg.

"Artinya kalau dijual di masyarakat oleh importir dengan harga pantas yah di atas Rp 80.000/kg. Bisa Rp 85.000/kg atau kurang lebih, sementara jenis secondary cut terbaik harga yakni jenis Inside Rp 89.200/kg, itu harga dari Australia sampai ke sini," papar Thomas.

Untuk menekan harga daging sapi di pasar hingga di bawah Rp 80.000/kg saat puasa dan Lebaran, pemerintah membuka keran impor daging jenis secondary cut atau daging sapi beku sebanyak 27.400 ton. Sejumlah kalangan menilai, daging beku yang diimpor BUMN dan swasta tersebut dianggap kurang diminati masyarakat di pasaran, lantaran masyarakat sudah terbiasa dengan daging segar.

Direktur Pengadaan Perum Bulog, Wahyu mengungkapkan, tak benar jika daging beku seperti yang dijual Bulog sepi peminat. Menurutnya di Jabodetabek saja, pihaknya bisa menjual daging beku impor 80-90 ton per hari. "Kita impor daging juga yang berkualitas dan bersertifikat dari 95 CL. Itu cukup digemari masyarakat, buktinya kita sehari Jakarta dan sekitarnya saja laku 80-90 ton," ungkapnya. Wahyu menuturkan, kalau pun ada sebagian masyarakat yang tak menyukai daging beku impor, itu berasal dari segmen menengah atas.

"Kalau ada yang kurang berminat membeli itu yang pendapatan menengah ke atas, mereka lebih cari yang segar, masih ada darahnya. Daging beku kan ada segmen sendiri, karena sesuai keinginan Pak Jokowi agar harga daging bisa terjangkau semua kalangan. Sebaliknya, segmen yang suka juga sangat banyak," ujarnya. dari kuota impor 10.000 ton daging beku yang didapat Bulog, sudah ada 1.800 ton masuk dan didistribusikan lewat operasi pasar hingga penjualan melalui jaringan agen distributor BUMN logistik pangan tersebut.

"Dari 1.800 ton yang masuk sudah banyak yang terserap, sebelum puasa saja rata-rata 90 ton seharinya, dan itu akan terus naik. Dan itu tak hanya di Jakarta dan sekitarnya saja, di kota lain seperti Bandung juga cukup laris," tutup Wahyu. Lewat pembukaan keran daging impor secondary cut sebesar 27.400 ton, pemerintah berharap harga daging sapi bisa turun hingga di bawah Rp 80.000/kg saat memasuki bulan Ramadan. Saat ini harga daging di pasar dibanderol Rp 110.000-130.000/kg.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo, mengungkapkan secara hitungan-hitungan, daging sapi bisa turun di bawah Rp 80.000/kg. Syaratnya selain penambahan stok dari impor, juga ada penurunan konsumsi daging sapi.

"Saya kira tergantungnya banyak. Kebutuhan tergantung ketersediaan. Selama suplai mencukupi, harga terjangkau. Yang kita lihat kemudian, dampak kenaikan harga yang terus terjadi dari 2013," jelas Sasmito ditemui di acara diskusi Rasionalitas Harga Daging Sapi, Cikini, Jakarta, Jumat (3/6/2016).

"Naik harga diiringi penurunan konsumsi kita. Nampaknya lari ke ayam dan daging, tapi harga ayam dan ikan stabil 2 tahun belakangan, ayam Rp 28.000-30.000/kg. Jadi dampak kenaikan harga sapi ialah penurunan konsumsi. Kita lihat paling turun rumah makan, sudah jadi substitusi ke ayam dan ikan," tambahnya. Dia menyebutkan, sejak 3 tahun belakangan, konsumsi daging sapi sendiri terus mengalami penurunan.

"Ini konsumsi di rumah tangga, restoran, hotel, katering, dan industri. Jumlah konsumsi tahun 2013 700.000 ton, tahun 2014 600.000 ton, tahun 2015 turun," jelas Sasmito. Menurutnya, melambungnya harga yang lumrah terjadi saat puasa dan Lebaran selalu terjadi karena lonjakan permintaan dan stok yang terbatas. Artinya, dengan tambahan stok dari impor, bisa terjadi tren penurunan harga.

"Perkembangan harga sapi 2013-2016, itu ada periode Ramadan daging sapi jadi bukit (mahal). Tiap tahun begitu dan paling tajam 2015, waktu itu membatasi impor, sedikit sekali (stok daging), jadi harga melonjak," pungkas Sasmito.

Pemerintah membuka keran impor daging sapi secondary cut beku sebanyak 27.400 ton. Daging impor tersebut dipakai untuk menekan harga daging sapi yang saat ini dijual di harga Rp 110.000-130.000/kg, menjadi di bawah Rp 80.000/kg saat puasa dan Lebaran. Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), Asnawi, mengungkapkan bahwa daging impor sulit dijual ke pasar-pasar tradisional. Selain kualitasnya yang lebih rendah, daging beku selama ini juga hampir tak pernah dijumpai di pedagang pasar becek karena tak banyak peminat.

"Kalau pengalaman pedagang, selama ini daging impor juga nggak merembes ke pasar becek. Kemudian dari sisi kualitas, daging impor juga dianggap daging sisa," jelas Asnawi ditemui di acara diskusi Rasionalitas Harga Daging Sapi, Cikini, Jakarta, Jumat (3/6/2016). "Coba lihat Bulog kan selama ini juga jual daging beku. Itu nggak laku walaupun lebih murah harganya," tambahnya.

Sebagai pelaku penjualan daging di pasar, menurut Asnawi, dirinya pernah menjual daging sapi beku, namun rupanya tak banyak peminatnya.  "Saya dulu pernah jualan. Daging kalau dikeluarkan dari freezer itu daging langsung berubah warna sangat cepat, jadi hijau. Jadi kesimpulannya masyarakat kita tetap mengejar daging fresh," jelas Asnawi.

Dia mencontohkan, lewat banyak operasi pasar, Bulog yang selama ini rajin menjual daging secondary cutjuga mengalami kesulitan menjual daging beku langsung kepada masyarakat. "Bulog saja kan gagal. Memang daging impor ini untuk peruntukan industri, atau Horeka (hotel, restoran, dan katering)," tutupnya.

No comments:

Post a Comment