Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) berharap momentum puasa dan hari raya Idul Fitri mendongkrak penjualan produk ritel dan menyumbang 45 persen dari target penjualan Rp 200 triliun pada tahun ini.
Roy Mandey, Ketua Umum Aprindo menuturkan, pertumbuhan penjualan produk ritel pada kuartal I 2016 melambat dengan hanya tumbuh sekitar 9-10 persen. Padahal, pada tiga bulan pertama 2015 pertumbuhannya bisa menyentuh kisaran 18-20 persen.
Kendati melambat, Roy optimistis target penjualan produk ritel sebesar Rp200 triliun tercapai pada tahun ini. Ia menaruh harapan pada pola konsumsi masyarakat, yang biasanya meningkat saat puasa atau menjelang lebaran. Roy melihat ada potensi penjualan produk ritel hingga sekitar Rp90 triliun selama Ramadan atau 45 persen dari target.
“Mudah-mudahan di bulan Ramadhan ini, terjadi recovery penjualan sehingga industri retail yang tahun lalu terpuruk dengan tingkat pertumbuhan rata-rata bisa 8-9 persen, tahun ini bisa tumbuh di kisaran 10 hingga 12 persen,” tutur Roy Mandey di sela kunjungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) ke pusat perbelanjaan Thamrin City, Selasa (14/6).
Ia meyakini, permintaan masyarakat terhadap produk ritel pada Ramadan tahun ini akan lebih baik dibandingkan dengan saat Ramadan tahun lalu. Berdasarkan pengamatannya, tahun lalu, konsumen cenderung menahan belanja produk ritel akibat perlambatan perekonomian.
Tahun ini, lanjut Roy, animo belanja masyarakat sudah mulai membaik. Hal itu tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia pada Mei 2016 yang menyentuh 112,1 poin atau lebih tinggi 3,1 poin dibandingkan bulan sebelumnya. “Baru beberapa hari ini kita berpuasa, kurang lebih sudah ada peningkatan penjualan sekitar 10 persen dibandingkan biasanya,” ujarnya.
Dari sisi harga, Roy menilai Ramadan tahun ini harga produk ritel, baik sandang maupun pangan, relatif stabil. Buktinya, inflasi masih terjaga di bawah target 4 persen. “Walaupun ada beberapa harga bahan pokok yang naik, tetapi secara umum cenderung stabil, terutama di pasar modern,” katanya.
Menurut Roy, tingginya harga eceran di pasar tradisional terjadi akibat panjangnya rantai distribusi dan tata niaga. “Oleh karenanya, jika bicara harga yang melonjak (di pasar tradisional) itu adalah PR (pekerjaan rumah) pemerintah untuk bisa memperbaiki tata niaga dan tata kelolanya,” ujarnya
No comments:
Post a Comment