PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) baru saja melaporkan kinerja keuangannya sepanjang 2015. Perseroan mengalami tahun yang buruk karena mencatatkan rugi bersih sebesar Rp8,64 triliun, melonjak 201,15 persen dari rugi bersih di tahun 2014 sebesar Rp2,86 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan Bakrie Telecom pada Jumat (24/6), perusahaan yang terakhir dikenal dengan produk aplikasi Esia Talk ini mencatatkan penurunan pendapatan mencapai 65,94 persen menjadi Rp401,62 miliar pada 2015, dari Rp1,18 triliun di tahun sebelumnya.
Amblasnya pendapatan tersebut masih ditimpa dengan melonjaknya beban usaha perusahaan. Sepanjang 2015, Bakrie Telecom menanggung beban usaha sebesar Rp4,23 triliun, meloncat 99,38 persen dari Rp2,12 triliun pada 2014. Pos beban usaha yang meroket paling tinggi berasal dari beban penyusutan yang naik 202,36 persen menjadi Rp3,34 triliun pada 2015, dari Rp1,1 triliun di tahun sebelumnya.
Besarnya total beban usaha yang harus ditanggung tersebut, membuat kinerja keuangan Bakrie Telecom hancur. Perseroan harus menelan peningkatan rugi usaha hingga 305,69 persen menjadi Rp3,83 triliun, dari Rp944,97 miliar. Sudah jatuh tertimpa tangga. Setelah mencatatkan peningkatan rugi usaha, perseroan harus menanggung beban lain-lain bersih mencapai Rp4,67 triliun pada 2015, melompat 255,93 persen dari Rp1,31 triliun di tahun 2014.
Adapun pos beban lain-lain terbesar berasal dari beban sisa masa sewa yang mencapai Rp1,66 triliun pada 2015. Padahal beban tersebut tidak ada di tahun 2014. Selain itu, terdapat lonjakan dalam pos rugi penurunan nilai aset mencapai 272,51 persen menjadi Rp1,44 triliun, dari Rp388,57 miliar.
Dari sisi aset, per 31 Desember 2015 perseroan mencatatkan nilai Rp2,41 triliun, turun dari Rp7,58 triliun pada akhir tahun 2014. Padahal, liabilitas atau kewajiban perseroan tercatat mencapai Rp14,92 triliun di tahun 2015, naik dari Rp11,46 triliun pada 2014.
Bakrie Telecom terpaksa bermanuver untuk menerbitkan obligasi wajib konversi senilai total Rp7,6 triliun demi membayar utang perseroan yang menumpuk hingga Rp11,6 triliun. Nantinya kreditur memperoleh obligasi yang ditukar dengan saham tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD). Wakil Presiden Direktur Bakrie Telecom Taufan Rotorasiko mengatakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) perusahaan telah setuju dengan rencana obligasi wajib konversi tersebut.
Ia juga menjelaskan, pemegang saham telah setuju untuk memberikan harga saham konversi di angka Rp200 per lembar. Padahal, harga saham BTEL pada saat ini masih tersungkur di level Rp50 per lembar. “Jadi kami memberikan harga saham ke kreditur agar manajemen memperoleh insentif juga. Kalau Rp50 harganya, enggak ada insentif. Di harga Rp200 kami dapat insentif untuk berkembang,” ujarnya, Kamis (28/4).
No comments:
Post a Comment