"Orang panik sehingga pembelanjaan tidak terjadi. Jadi, teman-teman ritel melaporkan bahwa belanja konsumen di gerai itu menurun drastis," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (1/6/2016). Menurut Putri, kondisi ini sangat mengkhawatirkan di tengah perlambatan ekonomi yang terjadi. Sementara pemerintah berupaya mengejar target pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari konsumsi rumah tangga.
"Aprindo sendiri komplain, mal sepi, hypermarket sepi, drastis ini di penjualan lifestyle. Pemilik kartu kredit banyak yang kembalikan kartu kredit. Ini bisa dilihat sebagai indikator ketakutan," paparnya. Kalangan dunia usaha, menurut Putri, sebenarnya mendorong kebijakan pemerintah yang tujuannya untuk meningkatkan penerimaan. Akan tetapi, lebih baik bila dilaksanakan setelah kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty selesai diberlakukan.
"Harusnya ada step by step. Kami setuju dengan aturan Ditjen pajak tapi pemberlakuannya menunggu tax amnesty diberlakukan," terang Putri. Dapat dimungkinkan, pengguna kartu kredit adalah individu yang tengah menunggu pengampunan pajak. Bila pajak telah diampuni, artinya tidak ada ketakutan jika data penggunaannya dibuka.
"Kalau sudah tax amnesty kan mereka sudah ngaku dosa semua kan. Jadi ini berikan kesempatan untuk masyarakat melakukan keterbukaan kemudian baru aturan ini diberlakukan," tegasnya. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) tak hanya mengintip data transaksi kartu kredit. Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas (P2Humas) Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama, Ditjen Pajak juga mengecek data Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) dan data Kredit Pemilikan Rumah (KPR) para wajib pajak.
"Data BPKB itu juga ada di pajak, kita dapat juga. Data KPR kita juga ada kok," kata Hestu. Meskipun Ditjen Pajak bisa mengecek data BPKB maupun KPR, hal ini tetap tidak menyurutkan minat masyarakat membeli rumah maupun kendaraan karena masyarakat tidak tahu datanya di intip oleh pajak.
"Tetap orang beli mobil, tetap orang ambil KPR. Kredit motor, kredit mobil, nggak masalah. Tentunya dalam kewajaran penghasilannya," kata Hestu. Dia menambahkan, di berbagai negara lain, terutama negara maju, adalah wajar otoritas pajak memiliki data-data transaksi para wajib pajak. Oleh sebab itu, masyarakat tak perlu khawatir dengan data-data transaksi yang dicek Ditjen Pajak.
No comments:
Post a Comment