Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada April 2016 sebesar US$319 miliar atau tumbuh 6,3 persen secara tahunan dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Berdasarkan kelompok peminjam, ULN pemerintah meningkat sedangkan ULN sektor swasta masih mengalami penurunan.
Mengutip data BI, sampai akhir April 2016 jumlah ULN swasta sebesar US$165,2 miliar atau 51,8 persen dari total ULN Indonesia. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, ULN sektor swasta masih mengalami penurunan 1,1 persen pada April 2016. Bank sentral melaporkan, ULN swasta terutama terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih.
“Pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76 persen. Apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, pertumbuhan tahunan ULN sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas dan air bersih tercatat mengalami peningkatan. Sementara itu, ULN sektor keuangan dan pertambangan masih menurun,” bunyi keterangan resmi BI, dikutip Senin (20/6).
Sementara utang pemerintah dari negara, donor atau lembaga keuangan asing tercatat US$153,8 miliar. “Sementara ULN pemerintah justru tumbuh 15,7 persen dibanding periode yang sama tahun lalu,” ujar BI. Bank Indonesia memandang perkembangan ULN pada April 2016 masih cukup sehat, namun pemerintah diminta untuk terus diwaspadai risikonya terhadap perekonomian nasional.
“Ke depan, BI akan terus memantau perkembangan ULN, khususnya ULN sektor swasta. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi,” ujar BI. Kas negara telah mengalami defisit anggaran sebesar Rp158,2 triliun atau 1,24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) hanya dalam empat bulan pertama 2016. Kenaikkan tipis belanja negara yang tidak dibarengi dengan setoran penerimaan perpajakan yang mumpuni menjadi penyebabnya.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, maksimal defisit fiskal dipatok sebesar Rp273,2 triliun atau 2,15 persen dari PDB. Hal itu memperhitungkan target penerimaan negara dan hibah yang sebesar Rp1.822,5 triliun, serta alokasi anggaran belanja negara yang sebesar Rp2.095,7 triliun.
Namun, jika menilik data Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara (DJPN) Kementerian Keuangan, jumlah uang yang masuk ke kas negara hingga 29 April 2016 baru sebesar Rp386,5 triliun atau 21,2 persen dari target pendapatan negara dan hibah. Angka tersebut turun 9,86 persen dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu Rp428,8 triliun (24,3 persen dari target Rp1.761,6 triliun).
Sementara dari sisi belanja negara, anggaran yang sudah dihabiskan pemerintah sebesar Rp544,8 triliun atau 26 persen dari pagu, yang sebagian besar untuk belanja pegawai dan membayar utang. Serapan anggaran itu tak jauh beda dengan kualitas belanja negara empat bulan pertama tahun lalu, yang sebesar Rp498,7 triliun atau 25,1 persen dari pagu. Alhasil, utang menjadi solusi paling gampang yang diambil pemerintah untuk menambal defisit fiskal. Untuk itu, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan dipaksa kerja keras.
Selama Januari-April 2016, DJPPR telah menarik pembiayaan sebesar Rp203,3 triliun atau 74,4 persen dari target pembiayaan hingga akhir tahun Rp273,2 triliun. Mayoritas pembiayaan ditarik dari dalam negeri, yakni sebesar Rp209,9 triliun, terutama dari pasar obligasi. Sementara dari kreditur asing, pemerintah menarik utang luar negeri sebesar Rp8,9 triliun yang terdiri dari pinjaman program sebesar Rp6,7 triliun dan pinjaman proyek 2,2 triliun.
Tahun lalu, realisasi defisit APBNP per April 2015 sebesar Rp69,9 triliun atau 1 persen dari PDB. Sementara batas maksimal defisit kala itu ditetapkan sebesar Rp222,5 triliun atau 1,9 persen PDB. Dari sisi pembiayaan, realisasi penarikkan utang per April 2015 sebesar Rp131 triliun atau 58,9 triliun. Kinerja pembiayaan selalu lebih agresif dibandingkan penerimaan dan belanja negara, sejalan dengan strategi pemerintah menggenjot peenarikan utang di awal tahun (front loading strategy).
Pemerintah mencatat realisasi pembiayaan anggaran hingga 31 Mei 2016 sebesar Rp213,4 triliun atau 78,11 persen dari target pembiayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, Rp273,2 triliun. Pengadaan pembiayaan tersebut bersumber dari pembiayaan utang sebesar Rp211,2 triliun dan non-utang atau yang berasal dari perbankan dalam negeri sebesar Rp2,1 triliun.
Realisasi pembiayaan utang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) nettosebesar Rp221,5 triliun dan penarikan pinjaman sebesar negatif Rp10,4 triliun. Penerbitan SBN secara gross mencapai Rp340,1 triliun atau 61,2 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp555,7 triliun. Di mana, sebanyak US$6 miliar atau sekitar Rp82,1 triliun berasal dari penerbitan SBN dalam valuta asing.
"Tingginya persentase realisasi penerbitan SBN gross ini sejalan dengan strategi front loading yang dilakukan pemerintah," tutur Kepala Pusat Harmonisasi dan Analisis Kebijakan, Luky Alfirman, saat memberikan keterangan pers di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jumat (10/6). Strategi front loading, lanjut Luky, dilakukan untuk memanfaatkan tingginya likuiditas, membiayai realisasi defisit APBN yang cukup besar, dan membiayai utang jatuh tempo/ dibeli kembali (buyback).
Tercatat, jumlah SBN jatuh tempo dan dibeli kembali sampai dengan akhir Mei 2016 mencapai Rp118,9 triliun. Sementara, realisasi penarikan pinjaman luar negeri diperoleh dari pinjaman program adalah sebesar US$500 juta atau sekitar Rp6,7 triliun yang berasal dari World Bank. Mengingat hingga akhir Mei besar defisit anggaran sebesar Rp189,1 triliun atau lebih rendah dari realisasi pembiayaan, maka dalam pelaksanaan APBN hingga bulan Mei 2016 terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) sebesar Rp24,2 triliun.
No comments:
Post a Comment