Menurut sebuah lembaga yang memperjuangkan hak-hak pekerja, para pekerja di pabrik-pabrik yang memasok Walmart, H&M, dan Gap masih dieksploitasi dalam kondisi yang kurang baik. Padahal, tiga tahun sebelumnya terjadi kecelakaan mematikan di pabrik di Bangladesh.
Asia Floor Wage Alliance melaporkan, para pekerja di Bangladesh, Kamboja, India, dan Indonesia yang membuat produk pakaian untuk Walmart menghadapi eksploitasi dan kekerasan tenaga kerja secara intensif. Asia Floor Wage Alliance adalah koalisi internasional uni perdagangan dan organisasi hak asasi manusia. Tahun 2013 lalu, sebuah bangunan runtuh di Bangladesh dan menewaskan 1.127 orang pekerja pabrik garmen.
Peristiwa ini memperoleh sorotan internasional tentang korban yang harus melayang nyawanya saat membuat pakaian murah dan cepat untuk negara-negara yang lebih kaya seperti Amerika Serikat. Akan tetapi, rangkaian laporan dari Asia Floor Wage Alliance menyatakan masih minimnya upaya untuk memperbaiki kondisi para pekerja pabrik garmen di negara-negara berkembang di Asia.
Laporan tersebut mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap hak-hak para pekerja. Dalam menyusun laporannya, Asia Floor Wage Alliance mewawancarai 344 pekerja yang kebanyakan adalah wanita. Mereka bekerja di 80 pabrik yang masuk ke dalam rantai pasok Walmart. Laporan ini menyatakan pula banyak pekerja, utamanya di Kamboja dan India, mengeluhkan adanya pelecehan seksual.
Namun demikian, laporan tersebut mengidentifikasikan masalah spesifik di setiap negara. Sebagai contoh, sebagian besar pekerja di pabrik Kamboja yang memasok Walmart bekerja di bawah kontrak yang amat eksploitatif. Mereka pun bekerja dalam kondisi yang tak aman, upah rendah, tidak memperoleh manfaat, dan pinalti berat bila terlibat dalam aktivitas serikat pekerja.
Walmart juga dikabarkan menolak menandatangani Persetujuan Keselamatan Gedung dan Kebakaran, yakni sebuah pakta yang dibuat oleh 190 merek busana dan uni perdagangan guna menginspeksi pabrik-pabrik terkait keselamatan kebakaran, listrik, dan struktur bangunan.
Peritel mode Gap juga menolak pakta ini. Sebaliknya, Gap dan Walmart membentuk kumpulan yang dinamakan Aliansi Keselamatan Pekerja Bangladesh. Akan tetapi, aliansi tidak juga memperbaiki kondisi para pekerja. Dalam laporan terpisah, Gap juga disoroti karena para pekerjanya mengalami waktu kerja lembur, upah yang rendah, hukuman fisik, dan pemberhentian secara ilegal di Bangladesh, termasuk jika pekerja dalam keadaan mengandung.
"Gap berada di belakang brand lainnya dalam komitmen mereka untuk memberikan pekerjaan yang layak dan lingkungan kerja yang aman," jelas laporan itu.Peritel mode H&M juga menyetujui Persetujuan Keselamatan Gedung dan Kebakaran, seperti halnya Adidas, American Eagle, Fruit of the Loom, dan Abercrombie & Fitch.
Namun, ini tak menghentikan Asia Floor Wage Alliance dalam menyoroti H&M terkait kondisi pekerja, di mana mereka mengalami eksploitasi tinggi dan pelecehan, khususnya di Kamboja dan India. Kondisi buruh pabrik peritel mode asal Swedia Hennes & Mauritz (H&M) di India dan Kamboja ternyata memprihatinkan.
Hal ini diketahui berdasarkan sebuah studi yang dihelat berdasarkan survei oleh Asia Floor Wage Alliance (AFWA). Studi tersebut menemukan bahwa para buruh yang menjahit pakaian untuk H&M di New Delhi, India dan Phnom Penh, Kamboja menghadapi permasalahan seperti upah yang rendah, kontrak dengan jangka waktu yang tak bisa dinegosiasikan, dan dipaksa lembur.
Di samping itu, buruh wanita juga akan kehilangan pekerjaannya bila diketahui mengandung. Studi tersebut mensurvei 50 orang buruh India dari 5 pabrik dan 201 orang buruh Kamboja dari 12 pabrik dari bulan Agustus hingga Oktober 2015. Ditemukan bahwa lembur terjadi di semua pabrik dan ditetapkan oleh perusahaan. Para buruh di Kamboja melaporkan bahwa mereka harus kerja lembur setidaknya dua jam setiap hari.
Sementara itu, para buruh di India menyatakan mereka bekerja setidaknya 9 hingga 17 jam per hari.
"Para buruh secara rutin harus bekerja hingga pukul 2 dini hari untuk mencapai target produksi. Kemudian, mereka harus kembali masuk kerja pada pukul 9 pagi," tulis laporan studi tersebut mengacu pada buruh di India, seperti dikutip dari Channel News Asia, Senin (23/5/2016). Sementara itu, upah yang mereka terima dari kerja sekaligus lembur berada di bawah upah minimum standar.
Hal ini, kata studi itu, bisa dipandang sebagai bentuk koersi ekonomi yang berujung pada lembur secara paksa. Studi ini menemukan juga bahwa kontrak dengan jangka waktu yang sudah ditentukan digunakan di 9 dari 12 pabrik di Kamboja dan semua pabrik di India yang disurvei. Para buruh juga melaporkan adanya diskriminasi dalam hal manfaat saat melahirkan di pabrik India maupun Kamboja.
Buruh di Kamboja di 11 dau 12 pabrik melaporkan menyaksikan maupun mengalami penghentian pekerjaan selama mengandung. Sementara itu, buruh dari 5 pabrik di India menyatakan para buruh wanita dipecat saat mengandung. "Para buruh permanen melaporkan dipaksa cuti atau meninggalkan pekerjaan tanpa bayaran selama periode kehamilan," tulis studi tersebut.
Thérèse Sundberg dari departemen pers dan komunikasi H&M menyatakan laporan ini mengangkat isu penting. Pihak H&M, kata Sunderg mendedikasikan diri untuk berkontribusi pada perkembangan positif jangka panjang untuk para buruh yang bekerja di industri tekstil di pasar H&M. "Isu yang diangkat dalam laporan ini adalah masalah yang dialami semua industri. Mereka sering sulit menanganinya sebagai perusahaan individu dan kami sangat yakin kolaborasi adalah kunci," jelas Sundberg.
No comments:
Post a Comment