"Kami agak lama menyiapkannya dan itu sudah beberapa minggu sebenarnya masuk karena agak besar juga paketnya," kata Darmin di kantornya, Kamis (16/6) malam. Ditemui terpisah, Deputi Menko Bidang Industri dan Perdagangan, Edy Putra Irawady mengungkapkan, rencananya Paket Kebijakan XIII akan banyak mengatur soal sektor perumahan dan perdagangan secara elektronik (e-commerce).
“Paling tidak minggu depan kami umumkan,” kata Edy.
Terkait dengan persoalan hunian, Edy mengatakan fokus dari pemerintah adalah membuat standarisasi harga tanah dan properti di berbagai kota, yang disesuaikan dengan kemapuan beli masyarakat setempat. "(Contohnya) harga rumah di Jakarta, jangan disamakan dengan harga rumah di Jambi. Tidak sanggup orang Jambi belinya. Harus ada standar harga tanah dan rumah semua,” ujarnya.
Sementara terkait e-commerce, lanjut Edy, pemerintah berencana memperjelas aturan investasi, pembiayaan, dan pajaknya. “Sifatnya mengatur saja, norma saja, standar saja,” ujarnya. Namun demikian, lanjut Edy, bisa jadi isi Paket Kebijakan XIII hanya terkait dengan sektore-commerce. Pasalnya, kebijakan sektor perumahan masih memerlukan pembahasan lanjutan.
“Kalau yang untuk rumah kami masih perlu bahas satu kali lagi,” ujarnya. Baru-baru sejumlah perusahaan e-commerce yang tergabung dalam Asosiasi E-commerce Indonesia (Indonesian E-commerce Association/idEA) merasa keberatan dengan rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPn) cuma-cuma, karena itu dinilai bisa membunuh perusahaan e-commerce iklan baris dan marketplace.
PPn cuma-cuma dikenakan kepada e-commerce sebesar 10 persen dari total biaya operasional perusahaan (termasuk biaya marketing, iklan, gaji karyawan, dan lain-lain) selama satu tahun, bukan dari total pemasukan yang diterima. PPn cuma-cuma ini juga termasuk barang atau jasa yang didaftarkan atau di-listing dalam platform e-commerce iklan baris dan marketplace, harus dibayarkan pajaknya oleh si empunya platform.
Padahal, hampir semua platform e-commerce iklan baris dan marketplace memungkinkan penjual untuk mendaftarkan barang atau jasanya secara gratis. Ketua Umum idEA Daniel Tumiwa mengatakan bahwa pajak tersebut tidak sesuai dengan asas Internet yang bersifat bebas dalam konteks wilayah penggunaannya. Itulah mengapa idEA minta pajak cuma-cuma harus dikaji ulang.
"Menurut kami, pajak cuma-cuma harusnya berlaku di bisnis yang memang tradisional, bisa dibatasi lingkup peredaran barangnya, karena tidak memanfaatkan Internet," katanya usai acara Media Gathering OLX di Jakarta (14/04).
Daniel juga menjelaskan bahwa pajak cuma-cuma bukan hal yang baru dan sudah diterapkan untuk produk percontohan yang dihasilkan dari berbagai bisnis tradisional. "Jaman dulu, rokok masih diberikan secara gratis. Walaupun konteksnya diberikan dan bukan dijual, produsen rokoknya tetap kena pajak. Contoh lainnya, beberapa TV yang dipasang sebagai display di showroom. Walaupun dipinjamkan secara cuma-cuma, tidak berbayar, tapi itu tetap harus bayar pajak," lanjut Daniel.
Pria yang sekaligus menjabat sebagai CEO OLX Indonesia ini pun menuturkan bahwa pajak cuma-cuma dikenakan pada industri e-commerce karena sudah memberikan fasilitas gratis untuk para penggunanya dalam mempublikasikan iklan jual beli. "Pengguna tidak bayar ketika listing iklan di OLX, seperti jual rumah, handphone, dan segala macam, dari situ kita kena pajak cuma-cuma," tutur Daniel.
idEA menilai ada salah tafsir dari pemerintah yang menyamakan layanan gratis di e-commerce ini dengan pembagian sampel produk gratis, yang secara hukum memang harus dikenai pajak. Asosiasi menilai hal ini tidak masuk akal mengingat sebagian besar layanan ataupun konten yang diakses melalui Internet kebanyakan bersifat gratis. Ambil contoh portal berita yang dapat diakses gratis, video musik yang dapat dinikmati secara gratis, hingga aplikasi penunjang produktifitas yang bersifat gratis.
Selain OLX, sejumlah perusahaan yang bereaksi menentang rencana PPn cuma-cuma ini adalah Tokopedia, Kaskus, dan PriceArea. Bima Laga, pendiri PriceArea yang juga Pengurus Bidang Kebijakan Publik idEA, mengatakan pajak cuma-cuma ini akan memberikan dampak buruk signifikan pada pertumbuhan industri e-commerce.
“Direktorat Jenderal Pajak seharusnya mengeluarkan peraturan pajak yang bisa diterapkan oleh masing-masing model bisnis e-commerce. Seiring dengan kemajuan industri, maka peraturan juga harus dapat menyesuaikan dengan bisnis itu sendiri," kata Bima. Selama ini, kebanyakan perusahaan e-commerce iklan baris dan marketplace Indonesia menghasilkan uang dari layanannya dengan konsep freemium. Cara ini memungkinkan pedagang mendapatkan fitur lebih atau barang/jasanya dipromosikan oleh pengelola platform.
idEA mengaku telah melayangkan surat keberatan kepada pemerintah, namun sampai saat ini belum dapat tanggapan. Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengaku masih kesulitan memungut pajak untuk perusahaan penyedia tempat berjualan online. Pasalnya, pungutan pajak untuk perusahaan e-commerce harus dikomunikasikan dengan negara tempat berdirinya perusahaan tersebut.
Bambang menyebut selama ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada di bawah naungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hanya mengenal pungutan pajak bagi kegiatan ekonomi yang jelas wujudnya. “Misal ke pasar, kita jelas apa yang dibeli dan harganya. Saat ini dengan kemajuan teknologi dan informasi, maka transaksi yang selama ini fisik menjadi transaksi di dunia maya,” kata Bambang, dikutip dari laman Kemenkeu, Senin (30/5).
Namun, mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal tidak bisa memungkiri pesatnya pertumbuhan kegiatan transaksi jual-beli secara daring di Indonesia yang selama ini belum menyumbang penerimaan bagi negara. “Transaksi di dunia maya menjadikan pemilik pajaknya tidak jelas, apakah negara tempat berdiri perusahaan atau negara asal perusahaan,” jelas Bambang.
Kesulitan dalam menerapkan pajak bagi e-commerce menurut Bambang bukan hanya menjadi masalah bagi Indonesia saja. Banyak negara di dunia yang kesulitan memungut pajak tersebut. Selain pajak e-commerce, isu perpajakan lain yang menjadi perhatian banyak negara di dunia adalah menjamurnya perusahaan internasional, serta data transaksi keuangan yang bergerak semakin dinamis.
“Semakin banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di banyak negara, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah perusahaan itu sudah membayar pajak yang benar di masing-masing negara. Lalu dengan modal yang semakin cepat berpindah lintas instrumen juga antar negara, di mana pajaknya akan dikenakan,” kata Bambang
No comments:
Post a Comment