Tuesday, September 2, 2014

Dua Tantangan Besar Ekonomi Pada Pemerintahan Jokowi

Dua tantangan ekonomi bakal segera menghadang pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo pada 20 Oktober nanti. Satu berasal dari dalam negeri dan satunya lagi datang dari luar negeri. Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri mengatakan 2015 merupakan tahun yang berat. “Lebih berat dari tahun ini dan tahun lalu,” kata Chatib dalam wawancaranya pekan lalu.

Hal pertama yang harus dihadapai pemerintahan Jokowi, ujar dia, adalah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Kebijakan ini, mau-tidak mau, akan berdampak pada kenaikan inflasi. “Imbasnya, jumlah orang miskin akan ikut meningkat,” tuturnya.

Tantangan kedua berasal dari Amerika Serikat. Bank sentral Amerika, Federal Reserve, bakal menaikkan tingkat suku bunga hingga lebih dari 100 basis poin. Langkah The Fed ini akan berdampak pada negara-negara berkembang (emerging market), tidak terkecuali Indonesia. “Ada pembalikan arus modal,” kata Chatib.

Aliran modal keluar ini akan memicu tekanan dalam pasar mata uang dan pengetatan likuiditas. Kebijakan The Fed ini mendorong negara-negara emerging market untuk melakukan penyesuaian kebijakan moneter. “Dengan imbal hasil yang lebih baik di Amerika, membuat uangnya akan kembali, akan pindah ke Amerika,” ujarnya.

Dengan kondisi perekonomian global yang seperi itu ditambah keperluan untuk segera menaikkan harga BBM bersubsidi, pengelolaan ekonomi nasional menjadi tidak mudah. “Ini tidak bisa dihindari, kecuali bisa membujuk Janet Yellen (Gubernur The Federal Reserve) supaya tidak menaikkan suku bunga,” tuturnya.

Kondisi ini membuat imbal hasil obligasi Amerika menaik. Akibatnya, apabila Indonesia butuh pembiayaan, akan jadi lebih mahal, karena bunganya menjadi lebih mahal. Karena itu, dari sekarang, kata Chatib, harus disiapkan sumber pembiayaan yang berasal dari dalam negeri.

Sumber pembiayaan yang bisa diharapkan adalah dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dana Haji, dan dana pensiun. “Uangnya bisa dibelikan surat utang negara,” katanya. Ketimbang dana-dana tersebut ditaruh di pasar modal yang tidak mendapat jaminan, lebih baik dibelikan obligasi pemeritah. “Tidak mungkin default (gagal bayar). Pasti dibayar," ujarnya.

Di samping mengandalkan sumber pembiayaan dalam negeri, pemerintah juga mulai mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. “Kami juga mulai menggarap euro dan sukuk. Makanya, saya kemarin ke Jedah dan Dubai,” tuturnya.

No comments:

Post a Comment