Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Kismantoro Petrus, mengungkapkan bahwa penghindaran pajak melaluitransfer pricing sulit terlacak. "Potensi (kehilangannya) besar," ujar Kismantoro di sela-sela seminar perpajakan, Kamis malam, 28 Februari 2013.
Dalam transfer pricing, pengusaha menjual produk ekspor ke perusahaan afiliasi dengan harga yang lebih rendah. Perusahaan afiliasi itu menjual produk dengan harga yang lebih tinggi ke klien sebenarnya. Dengan cara ini, perusahaan mengecilkan jumlah setoran pajak penghasilannya.
Direktorat Jenderal Pajak, diakui Kismatoro, belum bisa optimal memantau kecurangan semacam ini karena tidak memiliki data jual beli yang dibutuhkan. "Diperlukan atase-atase pajak di negara-negara lain, di kedutaan-kedutaan di luar negeri," ujarnya.
Potensi kehilangan pajak dari aktivitas transfer pricing bisa tampak dengan melihat selisih data ekspor yang tercatat di dalam negeri dan yang dicatat pemerintah negara lain. "Dari data PBB, World Trade Organization (WTO) tentang perdagangan dunia juga bisa terlihat," ujarnya.
Menurut Kismantoro, selain transfer pricing, ada banyak cara lain yang digunakan pengusaha untuk mengakali setoran pajak. "Pengusaha inginnya minimize. Bayar pajak seminimal mungkin, maka akan cari loop hole," ujarnya.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengatakan permasalahan transfer pricing dalam perpajakan tidak selalu membuat Indonesia rugi. Keuntungan diperoleh jika perusahaan di dalam Indonesia merupakan anak usaha dari perusahaan luar negeri. "Ada yang menguntungkan, ada yang merugikan kita," katanya di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Kamis, 18 September 2014.
Tranfer Pricing menjadi isu global di beragam pertemuan antarotoritas pajak di dunia. Dalam Forum Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) transfer pricing menjadi topik bersama.
Menurut Fuad, transfer pricing merupakan dampak perkembangan perusahaan yang memiliki anak usaha di negara lain. Skandal pajak ini memanfaatkan celah tarif pajak penghasilan (PPh) badan usaha lebih rendah di negara tempat produksi. Perusahaan global berupaya menekan serendah mungkin pembayaran pajak mereka di negara-negara tempat berproduksi untuk memperkecil pengeluaran.
Perusahaan global cenderung membangun anak usaha di negara dengan tarif pajak PPh badan usaha lebih kecil ketimbang negara markas perusahaan. Fuad mengatakan negara Korea dan Jepang merasa dirugikan dengan perusahaan di kedua negara itu yang mendirikan anak usaha di Indonesia. Alasannya penerimaan PPh badan usaha dari anak usaha diterima pemerintah Indonesia bukan negara mereka. Inilah yang disebut Fuad sebagai praktek transfer pricing yang tidak selalu merugikan.
"Jepang dan Korea pernah mendatangi kami komplain mengenai perusahaan di Jepang melakukan tranfer pricing di Indonesia. Yang untung kita," kata Fuad. Perusahaan Jepang dan Korea memilih berproduksi di Indonesia karena tarif PPh badan usaha di Indonesia lebih rendah. "Di Korea rate-nya lebih tinggi. Jadi mereka mendirikan anak usaha di Indonesia, makanya perusahaan Korea banyak di sini."
Adapun transfer pricing yang merugikan Indonesia adalah perusahaan Indonesia yang berkantor di Singapura. "Keuntungannya masuk ke Singapura," kata Fuad. Singapura mematok tarif PPh badan usaha sebesar 16 persen lebih rendah 9 persen dari tarif di Indonesia. Inilah yang membuat pengusaha menjual barang produksi Indonesia dengan banderol mahal ke Singapura. Dari Singapura, komoditas itu kembali dijual ke pasar dunia dengan harga murah.
No comments:
Post a Comment