Petani garam di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, sulit mengikuti imbauan pemerintah daerah setempat untuk tidak menjual garam karena harganya di pasaran lagi anjlok. "Sebentar lagi mau Idul Adha, banyak kebutuhan. Sulit untuk tidak menjual (garam)," kata Sujono, petani garam di Kecamatan Galis, Senin, 22 September 2014.
Menurut dia, garam petani kualitas nomor satu saat ini hanya dihargai Rp 450 per kilogram. Ini jauh di bawah ketentuan harga yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp 750 per kilogram. "Meski harganya murah, yang penting jadi uang buat Lebaran," ujar dia.
Sebelumnya, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pamekasan Bambang Edy Suprapto meminta petani untuk menunda dulu menjual garam ke perusahaan. Langkah ini diyakini bisa menyelamatkan petani dari kerugian. "Saat musim panen garam, harganya anjlok karena stok melimpah," katanya.
Bambang menyarankan para petani agar melepas garamnya pada Januari 2015. Biasanya, kata dia, pada Januari hingga April harga garam mulai membaik. "Jadi garam jangan dijual semua, simpan sebagian," ujar Bambang.
Dia meminta kelompok petani garam bisa memfasilitasi anggotanya untuk menyimpan garam di gudang agar tidak rusak. Sehingga saat harganya di pasaran naik, garam tersebut baru dijual. "Kami akan segera bertemu dengan perusahaan garam untuk mencari solusi soal harga," katanya.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Petani Garam Indonesia Sarli mengatakan seluruh petani garam di Indonesia mendesak presiden terpilih Jokowi untuk merevisi kebijakan tentang pergaraman di Indonesia yang dikelola oleh tiga kementerian sekaligus, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. "Kami desak Jokowi supaya kebijakan pergaraman ini dikelola melalui satu pintu," kata Sarli saat jumpa pers di satu rumah makan di Surabaya, Jawa Timur, Kamis, 18 September 2014.
Desakan itu menyusul pertemuan yang digelar Perkumpulan Petani Garam Indonesia di Pondok Pesantren Annuqayah, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, pada 15-18 September 2014. Acara tersebut dihadiri oleh sebelas kelompok petani garam dari sebelas sentra produksi garam kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Mereka bermusyawarah dan mengadakan pertemuan lokakarya terkait tindak lanjut nasib mereka di masa depan.
Menurut Sarli, kebijakan dari tiga kementerian ini dapat menimbulkan efek negatif yang berakibat pada koordinasi tentang perizinan impor garam dari berbagai negara. Padahal, hasil produksi petani garam di Indonesia tidak terlalu parah dan bisa menyaingi garam impor. "Sehingga kami sepakat menolak garam impor," kata dia.
Indonesia, kata dia, merupakan negeri yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia sehingga sangat tidak pantas jika garam impor terus membanjiri pasar dalam negeri dan menyengsarakan petani garam nasional.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang ikut memantau perkembangan pergaraman Indonesia, Abdul Halim, mengatakan garam adalah komoditas strategis bangsa Indonesia. Maka bila pemerintah membuka keran impor dengan mengabaikan partisipasi petambak garam nasional hanya akan berakibat pada bergantungnya bangsa Indonesia kepada bangsa lain.
"Padahal, garam itu sebagai salah satu komoditas pangan yang menjadi tombak hidup dan matinya sebuah bangsa," kata Halim. Abdul Halim menjelaskan data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2013 menyebut impor garam berasal dari Australia sebesar 128,7 ribu ton atau US$ 5,73 juta, Selandia Baru 143 ton atau US$ 60,3 juta, Jerman 35 ton atau US$ 26,8 ribu, Denmark 44 ton atau US$ 17 ribu dan negara lainnya dengan total 124 ton atau US$ 26 ribu.
Sedangkan pusat data dan Informasi KIARA pada Agustus 2013 menemukan fakta produksi garam nasional mengalami kenaikan. Dari tahun 2011 sebesar 1,621,594 ton menjadi 2,473,716 ton pada tahun 2012. "Kenaikan ini mestinya harus menutup keran impor," kata dia.
Di saat yang sama, kata Halim, pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tambak garam. Tidak hanya semata mengurusi produksi, melainkan teknologi, pengolahan, dan pemasarannya. "Ini yang lebih penting."
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdialog dengan para petani garam di Desa Karang Anyar, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Kamis, 5 Desember 2013. Petani mengeluhkan harga jual garam yang jauh di bawah harga yang telah diatur pemerintah lewat peraturan Dirjen Perdagangan. Dalam peraturan itu ditentukan garam kualitas 1 dihargai Rp 750 per kilogram, sementara kualitas 2 Rp 550 per kilogram. Namun kenyataan di lapangan, garam rakyat hanya dihargai rata-rata Rp 300 per kilogram.
Bupati Sumenep KH Busyro Karim yang hadir dalam acara tersebut mengatakan, SBY langsung memanggil Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan. "Pak Presiden bilang, harga garam berkaitan dengan produksi, kalau melimpah harga turun," kata Busro mengutip pernyataan SBY.
Busyro juga mengatakan, Presiden SBY menjanjikan kepada para petani, setibanya di Jakarta, dia akan langsung membahas masalah mereka. Dari lahan penggaraman, rombongan Presiden SBY melanjutkan kunjungan kerja ke Kabupaten Pamekasan untuk memanen dan menanam jagung di Desa Montok, Kecamatan Larangan.
No comments:
Post a Comment