Pemerintah Indonesia berencana menggalakkan ekspor barang-barang berkelanjutan (sustainable), yang salah satunya adalah minyak kelapa sawit lestari.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengungkapkan bahwa Indonesia pada waktunya nanti hanya akan memproduksi dan mengekspor minyak sawit lestari. Menurut dia, langkah ini tidak mustahil lantaran hal serupa sudah berhasil dilaksanakan untuk kayu.
"Kita sudah membutikan itu dengan kayu, bahwa hanya boleh mengekspor kayu yang dapat sertifikat bebas dari illegal logging. Nanti akan ditingkatkan dengan lestari. Ini saya kira sebuah bukti bahwa petani itu bisa menghasilkan kelapa sawit lestari," ujarnya, Selasa (2/9/2014).
Namun demikian, Bayu belum bisa memastikan waktunya implementasi ekspor minyak kelapa sawit lestari. Padahal, pasar Eropa sudah menunjukkan antusiasmenya terhadap produk-produk berkelanjutan. Karena itu, menurutnya, perlu ada sosialisasi, pelatihan, dan berbagai persiapan lain yang harus dimatangkan.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, dalam kunjungannya ke Eropa beberapa waktu lalu, dia mendapati sejumlah pembeli (buyers)crude palm oil (CPO) tidak ragu lagi akan komoditas andalan ekspor Indonesia itu.
“Kita mendapatkan respons positif 300 buyers yang menggunakan CPO. Mereka juga memahami bahwa isu lingkungan memang ada, tapi tidak berarti semua CPO bermasalah, karena ada CPO yang dihasilkan dengan cara-cara baik,” kata dia ditemui di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (10/6/2014).
Menurut Bayu, Indonesia merupakan produsen sawit berkelanjutan terbesar di dunia. Produksi CPO seluruh dunia ada sekitar 8,6 hingga 9 juta ton, di mana 4,5 juta ton di antaranya berasal dari Indonesia.
Angka 4,5 juta ton ini, diakuinya, jelas lebih kecil dibanding produksi CPO Indonesia, yang setiap tahun mencapai 30 juta ton.
Dia pun mengatakan, jika Uni Eropa menginginkan CPO yang berkelanjutan, maka Indonesia sudah siap. Terlebih lagi lanjutnya, Indonesia telah memiliki sertifikasi CPO berkelanjutan, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), yang hanya memiliki perbedaan 10 persen dari prasyarat Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Dia bilang, jika ada kemitraan antara produsen CPO di Indonesia dengan buyers, maka bukan tidak mungkin Indonesia menjadi produsen dan eksportir CPO berkelanjutan terbesar di dunia. “Kalau ini jalan, dan 300-an buyer sepakat dengan ini, kita jadi yang pertama,” ujarnya.
Di sisi lain, dia menyampaikan, pada dasarnya CPO bukanlah satu-satunya minyak nabati yang diserang isu lingkungan. Kompetitor CPO, seperti minyak bunga matahari dan minyak zaitun, juga mengalami hal serupa.
“Mereka (buyers) juga memahami minyak nabati lain sepertirapeseed, olive oil itu juga ada yang bermasalah secara lingkungan. Bukan berarti minyak nabati selain CPO itu tidak ada masalah lingkungan,” katanya.
No comments:
Post a Comment