Thursday, June 7, 2012

Bisnis Ekspor Gurita Naik Daun Di Pulau Simeulue

 Senja menjelang. Awan hitam yang bergumpal-gumpal mempercepat kelam. Samsuir (45) masih juga menyelam di Teluk Angkeo, Pulau Simeulue, yang berombak. Sesekali kepalanya menyembul, lalu kembali menghilang. Namun, Jumat akhir Maret 2012 itu bukan hari keberuntungannya. 

Setelah lebih dari empat jam berada dalam air, tubuh Samsuir menggigil menahan dingin. Namun, perburuan hari itu hanya menghasilkan dua anglit kecil. Anglit adalah sebutan Simeulue untuk gurita. ”Ini tidak ada 1 kilogram, Rp 10.000 saja tidak dapat,” ujar Samsuir saat menepi. Walau perburuan hari itu tak menggembirakan, Samsuir tak putus asa. ”Sekarang harga anglit lagi bagus.”

Empat rekan Samsuir lebih beruntung. Ali Safran (31), Mahmisar (30), Ramli (35), dan Jupri (25) memperoleh tangkapan lebih dari 3 kg per orang. Dengan harga Rp 26.000 per kg, paling tidak mereka akan mengantongi Rp 78.000.

Berburu gurita menjadi salah satu penghasilan utama sebagian warga Simeulue, selain menangkap lobster. Petaka gempa dan tsunami yang menerjang pesisir Samudra Hindia pada 26 Desember 2004 justru membuka akses ke Simeulue. Pulau yang sebelumnya nyaris tak dikenal ini mulai didatangi banyak orang dari sejumlah negara. Pasar anglit terbuka sejak itu. Jika sebelumnya harga anglit hanya Rp 2.000 per kg untuk pasar lokal, kini menjadi Rp 26.000 per kg.

”Katanya sekarang dijual ke luar negeri oleh penampung di Sinabang (ibu kota Simeulue),” ujar Safran.

Pasar ekspor gurita terbuka setelah Pemerintah Kabupaten Simeulue bekerja sama dengan Aceh Ocean Coral membangun unit pengolahan hasil laut (cold storage) di Simeulue timur. Pembangunan gudang ikan itu menggunakan dana bantuan dari Bank Pembangunan Islam (IDB). Unit pengolahan ini menampung hasil laut dari masyarakat, termasuk gurita untuk diekspor ke Taiwan dan Korea Selatan.

Pembukaan unit pengolah hasil laut pada Desember 2011 merupakan langkah awal untuk memaksimalkan hasil tangkapan ikan Simeulue yang memiliki laut seluas 21.500 kilometer persegi. Dikepung Samudra Hindia dan berada tepat di atas zona penunjaman lempeng yang kerap mengirim gempa dan tsunami, Simeulue diberkahi dengan kekayaan bahari.

Berisiko
Namun, risiko perburuan anglit sangat besar, mulai dari terempas ombak hingga dililit tentakel gurita. Samsuir pernah dililit gurita hingga nyaris tewas. Tembakan panah warga Dusun Sini-Sini, Angkeo, itu hanya menyerempet gurita dan hewan laut cerdas itu balik menyerangnya.

”Saya teriak-teriak, untung ada rekan yang mendengar. Dia segera membantu melepaskan lilitan gurita,” kata Samsuir.

Risiko lain adalah bertemu rombongan hiu, seperti dialami Mahmisar. Saat itu, Mahmisar sibuk mengamati sela-sela karang yang biasa menjadi tempat sembunyi gurita, ketika tiba-tiba muncul seekor hiu yang berputar-putar di atas kepalanya.

”Untung saya membawa jeruk nipis dan meremasnya. Hiu itu langsung pergi,” katanya.

Jeruk nipis menjadi ”jimat” bagi warga Simeulue. Mereka mendapat petuah dari para orang tua supaya selalu membawa jeruk nipis jika berburu anglit. ”Mungkin minyak kulit jeruk tak disukai hiu. Ikan besar lain juga tidak berani mendekat jika kita peras minyak kulit jeruk,” ujar Ali Safran.

Risiko lain adalah arus laut yang berubah tiba-tiba. Pantai barat Simeulue yang menjadi ajang perburuan anglit langsung menghadap Samudra Hindia dan terkenal dengan ombaknya yang besar. Baru-baru ini, dua nyawa melayang karena terseret arus hingga membentur batu. Hal itu menjadi sangat berbahaya bagi para penyelam yang menggunakan alat selam sangat sederhana ini.

Mereka mengandalkan kekuatan paru-paru. Jika perairan dangkal, mereka cukup menggunakan masker dan selang snorkel buatan sendiri untuk bernapas. Alat penangkap gurita juga sederhana, hanya panah besi dengan pelontar karet dari ban dalam sepeda motor. Panah ini menggunakan mekanisme sederhana seperti ketapel.

Keberanian
Bagi para pemburu gurita ini, sederet risiko itu tak menyurutkan nyali. ”Jika kami takut, bagaimana bisa hidup. Itu risiko tinggal di Simeulue,” kata Samsuir.

Menurut dia, yang lebih ditakuti adalah jatuhnya harga anglit. Mereka membutuhkan biaya untuk menata kembali hidup setelah habis-habisan diterjang tsunami. Hampir semua pemburu anglit adalah korban tsunami 2004.

Orang-orang Simeulue selamat dari tsunami karena pengetahuan tentang smong, yang mengajarkan supaya lari ke bukit di belakang desa jika air laut surut setelah gempa.

Penelitian Eko Yulianto dan Herry Yogaswara dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2007 menemukan, saat tsunami 2004, jumlah korban meninggal di Simeulue ”hanya” tujuh orang. Jumlah ini tidak signifikan dibandingkan dengan penduduk Simeulue saat itu yang 78.128 orang dan sebagian besar bermukim di pantai.

Walaupun selamat, orang-orang Simeulue harus menata kembali hidup mereka dari nol. Rumah mereka yang berada di pesisir hancur dan tinggal fondasinya saja.

Anglit menjadi salah satu tumpuan penghasilan. Untuk berburu anglit tidak dibutuhkan modal besar. Tak seperti nelayan yang butuh perahu dan bahan bakar. ”Modal berburu anglit hanya keberanian,” kata Mahmisar.

Keberanian dan semangat hidup itu ditunjukkan Samsuir dan rekan-rekannya sore itu.

No comments:

Post a Comment