PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan juru bayar yang dibentuk PT Lapindo Brantas Incorporation tidak saja menunggak ganti rugi kepada warga melainkan juga mengabaikan hak perusahaan yang ikut ditenggelamkan Lumpur Lapindo. ”Bolak-balik hanya dijanjikan akan dilunasi, tapi tidak jelas kapan akan diselesaikan,” kata Direktur PT Srikaya Putra Mas, Adrian Zulkarnain, kepadaTempo, Jum’at petang, 1 Juni 2012.
Sebanyak 25 perusahaan yang menjadi korban lumpur Lapindo semula tergabung dalam Gabungan Perusahaan Korban Lumpur Lapindo (GPKLL). Namun karena PT Minarak Lapindo Jaya memberlakukan pola B to B atau business to business, masing-masing pengusaha berjuang sendiri-sendiri.
Selain Adrian, dalam pertemuan dengan Tempodi sebuah rumah makan di tengah Kota Surabaya juga hadir delapan pengusaha lainnya. Nasib yang mereka alami sama. Hingga enam tahun semburan lumpur Lapindo, tidak ada kejelasan penyelesaian hak mereka. ”Lapindo maupun Minarak cuma berbohong, pemerintah dan DPRD hingga DPR-RI juga tidak memperhatikan hak kami,” ujar Direktur PT Catur Putra Surya, RH Ritonga yang pernah menjadi koordinator GPKLL.
Pemilik PT Victory Rottanindo, Yeyen, maupun pemilik Yama Indo Perkara, Lenda M. Alfons mengeluhkan apa yang disebutnya sebagai penganaktirian oleh kebijakan pemerintah terhadap nasib para pengusaha. ”Kami adalah juga korban, sama dengan warga. Tapi pemerintah mengabaikan nasib kami,” ucap Yeyen. ”PT Minarak berkali-kali kami temui tak pernah bisa memberikan kepastian kapan hak kami dibayar,” tutur Lenda.
Setelah melewati berbagai tahap negosiasi yang alot, para pengusaha sudah mengalah menerima penetapan harga ganti rugi meski sangat tidak memadai. Tanah yang harus bersertifikat hanya dihargai Rp 250 ribu per meter persegi, dan bangunan dipukul rata Rp 650 ribu per meter persegi. Adapun perangkat mesin perusahaan dinilai sekadarnya.
Mesin PT Srikaya Putra Mas yang bergerak di bidang produksi peralatan mesin untuk pabrik hanya dihargai Rp 2 miliar. Padahal harga seluruhnya sekitar Rp 20 miliar. Namun karena tak ingin kolaps Adrian bersedia menyetujuinya. Perusahaan yang berlokasi di Desa Jatirejo dengan asset sekitar Rp 40 miliar harus diselamatkan. "Kalaupun saya tidak bisa meneruskannya, anak atau cucu saya yang mengelolanya," katanya.
Para pengusaha juga bersedia menerima skema pembayaran dengan cara mencicil. Bahkan pembayaran tahap pertama juga dicicil dua kali, yakni 20 persen dan 10 persen. ”Meski kami sudah mau mengalah tapi kenyataannya tetap saja tidak ada kepastian kapan hak kami dipenuhi,” kata Lenda.
PT Yama Indo Perkasa, produsen furniture yang beroperasi sejak 1994, mengajukan nilai ganti rugi Rp 8 miliar. Namun hanya disetujui Rp 4 miliar. Namun, kata Lenda, yang diterimanya hanya cicilan pertama 20 persen Juli 2007 dan 10 persen Agustus 2008. ”Hingga sekarang terkatung-katung tanpa kejelasan,” ujarnya.
Lenda harus bekerja keras menjaga kepercayaan konsumennya di Jepang karena beragam jenis furniture yang diproduksinya di ekspor ke Negari Sakura tersebut. Perusahaan direlokasi ke kawasan Candi. Perusahaan yang dibangun dengan investasi Rp 1,7 miliar yang semula berdiri di atas tanah 4.998 meter persegi, bangunan 3.760 meter persegi di kawasan Kedung Bendo lenyap ditelan lumpur. Seluruh perangkat mesin dan 90 persen furniture yang siap diekspor tidak bisa diselamatkan.
Kini Lenda meneruskan usahanya di kawasan Candi dengan menyewa bangunan seluas 500 meter persegi –PT Minarak hanya membantu uang sewa selama dua tahun. Sebelum ditimpa petaka lumpur bisa mengekspor minimal enam kontainer per bulan dengan nilai ekspor 40 ribu US dolar, kini hanya dua hingga tiga kontainer.
PT Victory Rottanindo yang dibangun tahun 2000 dengan investasi Rp 3 miliar hanya diberi ganti rugi Rp 7 miliar. Padahal jumlah yang diajukan Yeyen Rp 11,5 miliar. Produsen furniture dari bahan rotan yang diekspor ke inggris itu semula berdiri di atas tanah 8.500 meter persegi dan bangunan 7.000 meter persegi hilang tertimbun lumpur bersama seluruh perangkat mesin serta furniture siap ekspor senilai lima puluh ribu US dolar. Kini Yeyen meneruskan usahanya di sebuah gudang 400 meter persegi. ”Kami akan terus memperjuangkan hak kami. Tapi rasanya semua pintu tertutup,” ucap Yeyen.
Pabrik jam PT Catur Putra Surya di kawasan Siring juga lenyap. Perusahaan tempat tokoh buruh Marsinah pernah bekerja itu dibangun tahun 1992 dengan luas tanah 12 ribu meter persegi dan bangunan lima ribu meter persegi. Sebagian besar perangkat mesin tak bisa diselamatkan. Sebanyak 600 karyawan kehilangan pekerjaan.
Kini kegiatan produksi dioptimalkan di pabrik pertama di kawasan industri Rungkut Surabaya. Ritonga tak bisa menyembunyikan kemarahannya setiap kali membicarakan haknya yang diabaikan PT Minarak. Klaim ganti rugi yang diajukannya Rp 56 miliar hanya disetujui Rp 25 miliar. Seperti pengusaha lainnya Ritonga baru menerima 30 persen. ”B to B sama dengan bohong to bohong atau bohong melulu,” kata Ritonga.
Sebanyak 25 perusahaan yang menjadi korban lumpur Lapindo semula tergabung dalam Gabungan Perusahaan Korban Lumpur Lapindo (GPKLL). Namun karena PT Minarak Lapindo Jaya memberlakukan pola B to B atau business to business, masing-masing pengusaha berjuang sendiri-sendiri.
Selain Adrian, dalam pertemuan dengan Tempodi sebuah rumah makan di tengah Kota Surabaya juga hadir delapan pengusaha lainnya. Nasib yang mereka alami sama. Hingga enam tahun semburan lumpur Lapindo, tidak ada kejelasan penyelesaian hak mereka. ”Lapindo maupun Minarak cuma berbohong, pemerintah dan DPRD hingga DPR-RI juga tidak memperhatikan hak kami,” ujar Direktur PT Catur Putra Surya, RH Ritonga yang pernah menjadi koordinator GPKLL.
Pemilik PT Victory Rottanindo, Yeyen, maupun pemilik Yama Indo Perkara, Lenda M. Alfons mengeluhkan apa yang disebutnya sebagai penganaktirian oleh kebijakan pemerintah terhadap nasib para pengusaha. ”Kami adalah juga korban, sama dengan warga. Tapi pemerintah mengabaikan nasib kami,” ucap Yeyen. ”PT Minarak berkali-kali kami temui tak pernah bisa memberikan kepastian kapan hak kami dibayar,” tutur Lenda.
Setelah melewati berbagai tahap negosiasi yang alot, para pengusaha sudah mengalah menerima penetapan harga ganti rugi meski sangat tidak memadai. Tanah yang harus bersertifikat hanya dihargai Rp 250 ribu per meter persegi, dan bangunan dipukul rata Rp 650 ribu per meter persegi. Adapun perangkat mesin perusahaan dinilai sekadarnya.
Mesin PT Srikaya Putra Mas yang bergerak di bidang produksi peralatan mesin untuk pabrik hanya dihargai Rp 2 miliar. Padahal harga seluruhnya sekitar Rp 20 miliar. Namun karena tak ingin kolaps Adrian bersedia menyetujuinya. Perusahaan yang berlokasi di Desa Jatirejo dengan asset sekitar Rp 40 miliar harus diselamatkan. "Kalaupun saya tidak bisa meneruskannya, anak atau cucu saya yang mengelolanya," katanya.
Para pengusaha juga bersedia menerima skema pembayaran dengan cara mencicil. Bahkan pembayaran tahap pertama juga dicicil dua kali, yakni 20 persen dan 10 persen. ”Meski kami sudah mau mengalah tapi kenyataannya tetap saja tidak ada kepastian kapan hak kami dipenuhi,” kata Lenda.
PT Yama Indo Perkasa, produsen furniture yang beroperasi sejak 1994, mengajukan nilai ganti rugi Rp 8 miliar. Namun hanya disetujui Rp 4 miliar. Namun, kata Lenda, yang diterimanya hanya cicilan pertama 20 persen Juli 2007 dan 10 persen Agustus 2008. ”Hingga sekarang terkatung-katung tanpa kejelasan,” ujarnya.
Lenda harus bekerja keras menjaga kepercayaan konsumennya di Jepang karena beragam jenis furniture yang diproduksinya di ekspor ke Negari Sakura tersebut. Perusahaan direlokasi ke kawasan Candi. Perusahaan yang dibangun dengan investasi Rp 1,7 miliar yang semula berdiri di atas tanah 4.998 meter persegi, bangunan 3.760 meter persegi di kawasan Kedung Bendo lenyap ditelan lumpur. Seluruh perangkat mesin dan 90 persen furniture yang siap diekspor tidak bisa diselamatkan.
Kini Lenda meneruskan usahanya di kawasan Candi dengan menyewa bangunan seluas 500 meter persegi –PT Minarak hanya membantu uang sewa selama dua tahun. Sebelum ditimpa petaka lumpur bisa mengekspor minimal enam kontainer per bulan dengan nilai ekspor 40 ribu US dolar, kini hanya dua hingga tiga kontainer.
PT Victory Rottanindo yang dibangun tahun 2000 dengan investasi Rp 3 miliar hanya diberi ganti rugi Rp 7 miliar. Padahal jumlah yang diajukan Yeyen Rp 11,5 miliar. Produsen furniture dari bahan rotan yang diekspor ke inggris itu semula berdiri di atas tanah 8.500 meter persegi dan bangunan 7.000 meter persegi hilang tertimbun lumpur bersama seluruh perangkat mesin serta furniture siap ekspor senilai lima puluh ribu US dolar. Kini Yeyen meneruskan usahanya di sebuah gudang 400 meter persegi. ”Kami akan terus memperjuangkan hak kami. Tapi rasanya semua pintu tertutup,” ucap Yeyen.
Pabrik jam PT Catur Putra Surya di kawasan Siring juga lenyap. Perusahaan tempat tokoh buruh Marsinah pernah bekerja itu dibangun tahun 1992 dengan luas tanah 12 ribu meter persegi dan bangunan lima ribu meter persegi. Sebagian besar perangkat mesin tak bisa diselamatkan. Sebanyak 600 karyawan kehilangan pekerjaan.
Kini kegiatan produksi dioptimalkan di pabrik pertama di kawasan industri Rungkut Surabaya. Ritonga tak bisa menyembunyikan kemarahannya setiap kali membicarakan haknya yang diabaikan PT Minarak. Klaim ganti rugi yang diajukannya Rp 56 miliar hanya disetujui Rp 25 miliar. Seperti pengusaha lainnya Ritonga baru menerima 30 persen. ”B to B sama dengan bohong to bohong atau bohong melulu,” kata Ritonga.
Selain 25 perusahaan yang pernah bergabung dalam GPKLL masih banyak perusahaan lainnya, termasuk perusahaan kecil dan perusahaan kelas rumah tangga yang tak jelas nasibnya.
Vice Presiden PT Minarak Lapindo, Andi Darusalam Tabusalla ketika dimintai konfirmasi oleh Tempo tidak bisa memberikan kepastian kapan kewajibannya kepada para pengusaha tersebut dituntaskan. ”Saya tidak bisa bilang kapan,” ujarnya berkali-kali. Andi Darsalam berdalih saat ini masih berkonsentrasi menyelesaikan ganti rugi kepada warga.
Andi Darusalam bahkan mengatatakan kewajiban kepada para pengusaha tidak diatur dalam peraturan presiden sebagaimana pengaturan terhadap hak warga.
Vice Presiden PT Minarak Lapindo, Andi Darusalam Tabusalla ketika dimintai konfirmasi oleh Tempo tidak bisa memberikan kepastian kapan kewajibannya kepada para pengusaha tersebut dituntaskan. ”Saya tidak bisa bilang kapan,” ujarnya berkali-kali. Andi Darsalam berdalih saat ini masih berkonsentrasi menyelesaikan ganti rugi kepada warga.
Andi Darusalam bahkan mengatatakan kewajiban kepada para pengusaha tidak diatur dalam peraturan presiden sebagaimana pengaturan terhadap hak warga.
No comments:
Post a Comment