“Menurut rekan-rekan ASEAN itu tidak adil karena barang lokal hanya kena pajak, tapi barang impor kena tarif tinggi dan pajak sekaligus,” Duta Besar Indonesia untuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Iman Pambagyo kepada Tempousai pertemuan Senior Economic Officials Meetings ASEAN, Sabtu, 23 Agustus 2014.
Dikatakan mantan Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, ini minuman beralkohol sebetulnya masuk ke dalam conclusion list(barang-barang yang disepakati untuk diturunkan bea masuknya) dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN. Namun, Indonesia selalu menolak dengan alasan moral dan nilai-nilai agama. “Akhirnya, minuman beralkohol kita masukkan ke dalam general exclusion list. Artinya, kita tidak berkomitmen untuk menurunkan tarifnya,” ujar Iman.
Dalam pertemuan SEOM tersebut, ujarnya, negara-negara ASEAN memberi contoh kebijakan Brunei Darussalam dalam mengatur peredaran minuman beralkohol. Tadinya, negara tersebut mengenakan tarif impor yang tinggi terhadap minuman beralkohol. Belakangan Brunei mengikuti kesepakatan ASEAN. “Brunei mencari cara untuk membatasi konsumsi minuman beralkohol, sembari terus menurunkan tarif bea masuknya menuju nol persen,” tutur Iman.
Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi mengatakan Indonesia punya alasan untuk berkeras karena mengacu pada komitmen yang sama di level WTO. Di organisasi dunia tersebut, Indonesia mematok tarif tinggi untuk impor minuman beralkohol.
Kebijakan itu, kata Bahcrul, memang diizinkan WTO dalam kaitan menjaga moral. Oleh sebab itu, dalam konteks kerja sama perdagangan bebas dengan negara-negara lain, komitmen di WTO itu tetap menjadi pedoman. “Termasuk yang kita pasang (tarif bea masuk tinggi) itu adalah beras dan gula,” ujar dia.
Mulai 23-28 Agustus 2014, pejabat-pejabat ekonomi ASEAN bertemu di Nay Pyi Taw, Myanmar. Mereka hendak mematangkan rencana pelaksanaan tahap akhir cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang jatuh tempo pada 31 Desember 2015. Pertemuan dibuka dengan perundingan level SEOM yang berlangsung hingga Ahad. Setelah itu dilanjutkan dengan pertemuan tingkat menteri pada 25-28 Agustus 2014.
Dalam pertemuan SEOM tersebut, ujarnya, negara-negara ASEAN memberi contoh kebijakan Brunei Darussalam dalam mengatur peredaran minuman beralkohol. Tadinya, negara tersebut mengenakan tarif impor yang tinggi terhadap minuman beralkohol. Belakangan Brunei mengikuti kesepakatan ASEAN. “Brunei mencari cara untuk membatasi konsumsi minuman beralkohol, sembari terus menurunkan tarif bea masuknya menuju nol persen,” tutur Iman.
Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi mengatakan Indonesia punya alasan untuk berkeras karena mengacu pada komitmen yang sama di level WTO. Di organisasi dunia tersebut, Indonesia mematok tarif tinggi untuk impor minuman beralkohol.
Kebijakan itu, kata Bahcrul, memang diizinkan WTO dalam kaitan menjaga moral. Oleh sebab itu, dalam konteks kerja sama perdagangan bebas dengan negara-negara lain, komitmen di WTO itu tetap menjadi pedoman. “Termasuk yang kita pasang (tarif bea masuk tinggi) itu adalah beras dan gula,” ujar dia.
Mulai 23-28 Agustus 2014, pejabat-pejabat ekonomi ASEAN bertemu di Nay Pyi Taw, Myanmar. Mereka hendak mematangkan rencana pelaksanaan tahap akhir cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang jatuh tempo pada 31 Desember 2015. Pertemuan dibuka dengan perundingan level SEOM yang berlangsung hingga Ahad. Setelah itu dilanjutkan dengan pertemuan tingkat menteri pada 25-28 Agustus 2014.
No comments:
Post a Comment