Badan Pusat Statistik (BPS) melansir hasil Sensus Pertanian (ST) 2013, Selasa (12/8/2014). Deputi Bidang Statistik Produksi, Badan Pusat Statistik, Adi Lumaksono, memaparkan, jumlah rumah tangga pertanian pada 2013 sebanyak 26,14 juta rumah tangga. Subsektor tanaman pangan mendominasi rumah tangga usaha pertanian yakni sebesar 17,73 juta rumah tangga.
"Subsektor hortikultura berdasarkan hasil ST 2013 ada sebanyak 10,60 juta rumah tangga," kata Adi.
Sementara itu, subsektor perkebunan tercatat ada 12,77 juta rumah tangga, subsektor peternakan (12,97 juta RT), subsektor perikanan (1,97 juta RT), subsektor kehutanan (6,78 juta RT), serta jasa pertanian ada sebanyak 1,08 juta RT.
Adi menambahkan, menurut jenis kelamin, hasil ST 2013 menunjukkan ada sebanyak 31,70 juta orang petani. Sebanyak 24,36 juta orang diantaranya (76,84 persen) adalah petani laki-laki. Sedangkan sebanyak 7,34 juta orang (23,16 persen) adalah petani perempuan. Hasil ST 2013, juga memotret populasi sapi dan kerbau di Indonesia.
Adi mengatakan, jumlah sapi dan kerbau pada 1 Mei 2013 tercatat sebanyak 14,24 juta ekor, terdiri dari 12,69 juta ekor sapi potong, 444.220 ekor sapi perah, serta 1,11 juta ekor kerbau.
Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, sehingga menjadi negara terbesar populasinya nomor 4 di dunia. Deputi Bidang Statistik Produksi, Badan Pusat Statistik, Adi Lumaksono, mengatakan, populasi yang besar itu mengkonsumsi banyak produk pertanian. Namun, kata dia, selain mengekspor produk pertanian mentah tanpa diolah, nyatanya kebutuhan produk pertanian dalam negeri juga tidak terpenuhi.
"Impor produk pertanian makin besar," kata dia dalam rilis Sensus Pertanian 2013, di Jakarta, Selasa (12/8/2014). Adi mengatakan, pada 2003, impor produk pertanian sebesar 3,34 miliar dollar AS. Angka ini, sebut Adi, naik empat kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
Pada 2013, nilai impor produk pertanian sudah mencapai 14,90 miliar dollar AS. Tidak hanya dari segi nilai yang semakin tinggi, volume impor produk pertanian diakui juga lebih besar. Adi menuturkan, ini menjadi keprihatinan dalam neraca pembayaran Indonesia.
"Dollar AS kita terpaksa dibayarkan keluar banyak untuk produk pertanian padahal, kita negara agraris," kata dia. Adi menjelaskan, ada beberapa permasalahan di sektor pertanian yang menjadikan impor produk pangan makin tinggi. Salah satunya adalah soal daya saing.
Dia bilang, impor produk pertanian subsektor hortikultura dari Thailand cukup besar. Dari segi kualitas, produk nasional sebenarnya tak kalah saing. Hanya saja konsumen Indonesia senang dengan ukuran yang lebih besar. "Ada Jambu bangkok, durian bangkok, ayam bangkok, perkutut bangkok," sebut Adi.
No comments:
Post a Comment