Sunday, August 17, 2014

Pembangunan Pelabuhan Cilamaya Sebabkan Pengeboran Minyak Dipindahkan

Pemerintah berencana membangun Pelabuhan Cilayama di Karawang, Jawa Barat. Pembangunan pelabuhan ini menyebabkan pengeboran minyak dan gas milik PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) terpaksa dipindahkan. Akibatnya negara bisa kehilangan cadangan minyak bernilai Rp 900 triliun.

"Kenapa harus dipindah, karena jalur pelayaran Cilamaya tepat memotong jalur pipa ONWJ yang berada di bawah laut yang sudah seperti akar serabut. Apalagi ada delapan jalur pipa berukuran 28 inci, sangat besar yang harus dipindah. Berbahaya jika ada kapal besar yang masuk," papar General Manager PHE ONWJ Jonly Sinulingga, Senin (18/8/2014). Jonly menambahkan, pihaknya juga harus memindahkan beberapa anjungan minyak lepas pantai (offshore) yang nilai sangat besar jika Pelabuhan Cilamaya dibangun.

"Untuk bangun satu anjungan minyak offshore itu biayanya Rp 1 triliun, ini harus dipindah kalau Cilamaya dibangun. Waktu kita mengangkat tiga anjungan di ONWJ sedikit ke atas itu saja memakan biaya US$ 150 juta. Kami belum bisa menghitung berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk memindakan anjungan minyak yang masih aktif berproduksi," jelasnya.

Tidak hanya itu, pemindahan anjungan minyak dan pipa migas mengharuskan operasi ONWJ mati total dalam waktu yang cukup lama. "Produksi minyak 43.000 barel per hari dan produksi gas bumi 177 juta kaki kubik per hari akan terhenti dalam waktu yang cukup lama," ujarnya.

Akibatnya, negara akan kehilangan cadangan minyak yang cukup besar. "Produksi minyak ONWJ sampai 2023 bisa mencapai 50.000 barel per hari, bahkan hingga 2037 produksi masih bisa 20.000 barel per hari. Hingga 2014 ini cadangan terbukti di ONWJ mencapai 80 juta barel, masih ada cadangan yang harus dibuktikan yakni P2 mencapai 80 juta barel lagi, P3 sebanyak 130 juta barel minyak lagi, dan cadangan kontinjensi sebanyak 600 juta barel lebih," ungkapnya.

Jika ditotal, nilai produksi ONWJ mencapai 900 juta barel lebih. Dengan harga minyak rata-rata US$ 100 per barel dan kurs rupiah terhadap dolar AS Rp 10.000, maka nilainya mencapai lebih dari Rp 900 triliun.

"Kita sudah beri bukti, 2010 bagian pemerintah dan bagian kami karena Pertamina adalah milik negara mencapai Rp 7,3 triliun ke negara, 2011 meningkat lagi menjadi Rp 12 triliun ke negara, 2012 mencapai Rp 11,8 triliun, 2013 mencapai Rp 13 triliun, dan pada tahun ini kami ditarget Rp 11,6 triliun. Sementara Pelabuhan Cilamaya belum memberikan bukti penerimaan yang besar bagi negara. Kalau Cilayama dibangun ini semua hilang, itu pasti," terangnya.

PT Pertamina (Persero) menyatakan menolak proyek pembangunan Pelabuhan Cilamaya, Karawang, Jawa Barat. Salah satu alasannya adalah proyek ini berpotensi membuat Jakarta gelap gulita. "Kalau Pelabuhan Cilamaya tetap dibangun, maka mengakibatkan beberapa anjungan minyak di lepas pantai milik Pertamina Hulu Energi harus dipindah. Tentunya akan membuat produksi terhenti," kata Direktur Hulu Pertamina Muhammad Husein ditemui di anjungan minyak PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ, Minggu (17/8/2014).

Terhentinya produksi PHE ONWJ akan mengakibatkan produksi minyak turun drastis hingga 43.000 barel per hari. Selain itu, pasokan gas ke PT PLN (Persero) untuk dua pembangkit yakni PLTG Tanung Priok dan PLTG Muara Karang terhenti. Lalu pasokan gas untuk pupuk khususnya ke PT Pupuk Kujang juga terhenti.

"Dari PLN sudah bilang jika gas dari ONWJ terhenti Jakarta gelap gulita. Dari Pupuk Kujang, pasti produksi pupuk turun drastis yang mengakibatkan petani kekurangan pasokan pupuk. Jadi efeknya ke mana-mana," ungkap Husein.

Ia mengungkapkan, Pertamina sudah menyatakan hal ini ke pemerintah. "Namun pemerintah tetap ingin membangun. Katanya tetap bisa dibangun tanpa harus memindahkan anjungan minyak ONWJ, karena ketika ada kapal besar masuk ke Cilamaya akan dikawal kapal-kapal kecil sehingga tidak mengenai jaringan pipa gas dan minyak di bawah laut," terang Husein. Namun bagi Pertamina, hal tersebut tetap menimbulkan risiko sangat tinggi, karena jaringan pipa di bawah laut Jawa khususnya melintasi perairan ke Pelabuhan Cilamaya sangat banyak.

"Di bawah itu banyak sekali pipa gas dan minyak. Arus di bawah kuat sekali, apalagi angin pada akhir tahun dan awal tahun kencang hingga 20 knot lebih. Kalau kapal besar tersebut jangkarnya terkena pipa, bahaya sekali. Lalu angin kencang membawa kapal tersebut menabrak anjungan, lebih bahaya lagi. Bagi kami risikonya tinggi, makanya kami ingin rencana itu ditinjau ulang," jelasnya.

No comments:

Post a Comment