Dunia menyambut presiden dan wakil presiden terpilih dengan antusias dan investor pun bergairah seusai penetapan Komisi Pemilihan Umum. Dan benar, kemenangan tak perlu dirayakan berlebihan. Cukup dengan pernyataan sederhana dari seorang presiden terpilih dan seruan lantang kepada seluruh masyarakat untuk bekerja sama menghadapi persoalan bangsa. Tak ada kemewahan berleha-leha karena persoalan rumit sudah menunggu di depan mata, bahkan sudah terlalu lama.
Pertama, beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik yang berpotensi menimbulkan komplikasi masalah, bahkan pada hari pertama pemerintah baru nanti persis setelah dilantik. Kedua, beban neraca transaksi berjalan yang tak semakin ringan sehingga berpotensi membalikkan seluruh sentimen positif investor yang sekarang ini ada. Hal ini juga terkait dengan kebijakan Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang tengah menjalankan normalisasi kebijakan moneter lewat kenaikan suku bunga the Fed Fund Rate yang direncanakan mulai tahun depan.
Ada korelasi antara kompleksitas domestik dan situasi global. Tahun lalu, ketidakmampuan kita mengeksekusi kebijakan terkait BBM membuat kita ”dipaksa” melakukannya di tengah situasi global yang kurang bersahabat.
Waktu itu, kenaikan harga BBM terjadi hampir bersamaan dengan pengumuman rencana pengurangan stimulus AS (tapering-off). Kebijakan buruk dilakukan dalam situasi tak baik menjadi kombinasi yang membuat rupiah terguncang, indeks merosot, dan biaya penerbitan obligasi menanjak. Hingga hari ini, pengetatan moneter masih terasa sehingga dunia bisnis terasa tak bisa menghela napas lega.
Terkait momentum kebijakan ada dua hal pokok. Pertama, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang sama, di mana kenaikan harga BBM dilakukan bersamaan dengan penarikan likuiditas pada level global. Tahun depan pengetatan likuiditas sudah bisa dibaca terkait rencana kenaikan Fed Fund Rate. Kedua, momentum kepercayaan pada pasangan Jokowi-JK sebagai eksekutor harus dibuktikan dengan akselerasi kebijakan konkret secara progresif.
Defisit anggaran akibat subsidi
Masalah pertama yang harus dihadapi pemerintah baru nanti adalah pengetatan fiskal akibat beban subsidi energi. Tahun ini, akibat fluktuasi rupiah dan beberapa faktor lain, beban subsidi terhadap fiskal bertambah sekitar Rp 100 triliun. Dari negosiasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terjadi kesepakatan pengetatan belanja kementerian dan lembaga hanya boleh tak lebih dari Rp 50 triliun. Lalu, beban Rp 50 triliun lainnya dialihkan pada anggaran 2015. Bisa dibayangkan, belum melakukan apa pun, pemerintah baru sudah harus menanggung tambahan defisit Rp 50 triliun.
Potensi masalah yang harus dihadapi pemerintah baru tak hanya pengalihan beban fiskal akibat kenaikan subsidi, tetapi juga terkait konsumsi BBM. Dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 ditetapkan konsumsi BBM 2014 sebesar 46 juta kiloliter. Angka itu mengacu pada konsumsi riil tahun sebelumnya. Jangan lupa, tahun lalu ada kenaikan harga BBM sehingga konsumsinya berkurang. Tahun ini, tanpa kebijakan berarti, dipastikan konsumsi BBM akan lebih tinggi. Kuota 46 juta kiloliter sudah akan habis pada bulan November. Karena itu, harus ada revisi UU APBN-P 2014 melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Bisa dibayangkan pemerintah baru dilantik 20 Oktober, bulan berikutnya sudah harus bertarung di parlemen memperjuangkan perppu jika konsumsi BBM tak bisa ditekan. Jadi, terkait subsidi BBM ini ada dua ancaman sekaligus, yaitu pembengkakan anggaran yang berpotensi melanggar UU Keuangan Negara jika defisit melampaui 3 persen, sekaligus UU APBN-P 2014 jika konsumsi melewati 46 juta kiloliter.
Disengaja atau tidak, pemerintah dan parlemen lama telah menimbulkan ruang gerak yang sempit bagi pemerintah baru. Karena itu, seruan presiden terpilih untuk bersatu demi kepentingan bangsa menjadi hal amat krusial. Persoalan defisit anggaran terkait besarnya konsumsi BBM menjadi ujian politik pertama yang harus dilalui pemerintah baru. Keberhasilan melakukan restrukturisasi fiskal dan energi ini juga menjadi acuan bagi para investor karena mereka melihat defisit fiskal merupakan representasi dari kekakuan ekonomi politik selama ini.
Pemerintah baru dan partai pengusung harus bersinergi secara paralel melakukan ”pelonggaran kebijakan” melalui konversi energi sekaligus ”pelonggaran politik” lewat lobi di parlemen terkait beban fiskal akibat subsidi. Pengurangan subsidi energi sudah tak bisa ditolak lagi, tinggal bagaimana skenario yang akan diambil, apakah akan menaikkan harga secara gradual selama lima tahun atau menetapkan subsidi dalam besaran tetap. Keduanya membutuhkan konsensus politik yang kuat karena pasti menambah beban rakyat sehingga sangat mudah dikonversi menjadi amunisi politik guna ”menjatuhkan” pemerintah baru.
Defisit neraca pembayaran
Mungkin saja banyak pendapat mengatakan, apa urusannya defisit neraca pembayaran dengan kepentingan rakyat. Pemerintah baru yang diusung rakyat tak perlu peduli terlalu besar dengan soal defisit neraca eksternal, karena itu lebih terkait dengan kepentingan pihak luar. Tentu pendapat ini salah total. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) memang merupakan rangkuman seluruh transaksi kita dengan pihak asing dalam dua kategori besar, neraca transaksi berjalan dan neraca modal finansial.
Secara sederhana bisa dikatakan defisit neraca transaksi berjalan menunjukkan ketidakmampuan kita membiayai operasional (pertumbuhan) ekonomi domestik dari sumber daya dalam negeri. Untuk itu perlu ditutup dengan pembiayaan asing lewat surplus neraca modal dan finansial. Dengan demikian, jika neraca modal dan finansial tak lagi mampu menutup defisit NPI, artinya modal asing pun tak juga mau ”menolong” perekonomian kita untuk tumbuh sesuai harapan kita.
Tentu saja, pertumbuhan ekonomi idealnya lebih banyak bertumpu pada sumber daya domestik. Itulah esensi dari kemandirian ekonomi. Karena itu, isu produktivitas dan penekanan pada pengembangan sumber daya manusia menjadi penting. Namun, kebijakan sehebat apa pun baru akan terasa dampaknya pada dua sektor ini setelah beberapa tahun bahkan dekade. Maka dari itu, jelas tak bisa ditagih sebagai ukuran kinerja jangka pendek.
Meskipun demikian, ada berbagai faktor pendukung yang berfungsi memandu kita menilai apakah target peningkatan produktivitas dan peningkatan SDM sudah berada di jalur yang benar. Pembenahan birokrasi, izin investasi, akselerasi pembangunan infrastruktur, pengaturan tata ruang, hingga kebijakan pajak bisa menjadi leading indicator sehingga peningkatan produktivitas bisa diukur keberhasilannya.
Pemerintah baru nanti mewarisi situasi tak terlalu baik dalam hal produktivitas. Kita terlalu lamban membangun infrastruktur, energi, dan reformasi birokrasi. Akibatnya, untuk membiayai pertumbuhan 5,3 persen tahun ini, kita harus mengandalkan sumber daya asing cukup besar, ditunjukkan dengan defisit transaksi berjalan yang masih berada pada kisaran 3 persen tahun ini. Pada kuartal II tahun ini, defisit neraca transaksi berjalan diperkirakan masih 9 miliar dollar AS atau setara dengan 4 persen produk domestik bruto (PDB). Tahun lalu pada periode yang sama defisit mencapai 9,9 miliar dollar AS atau 4,4 persen PDB. Kita masih ingat, akibat besarnya defisit itu, investor berbalik arah sehingga kita dikategorikan dalam lima kelompok negara paling rapuh (the Fragile Five) oleh Morgan Stanley, bersama Brasil, Turki, India, dan Rusia.
Sejarah selalu berulang dalam siklus dengan pola yang lebih kurang sama. Kelemahan kita tak banyak belajar dari pengalaman sehingga cenderung melakukan kesalahan (kebijakan) yang sama. Pemerintah baru diharapkan mampu keluar dari twin deficits (defisit neraca pembayaran dan defisit fiskal) agar kita tak ditinggalkan para pemodal yang juga kita butuhkan memupuk kinerja perekonomian sambil memperbaiki produktivitas yang begitu rapuh ini. Selamat bekerja presiden dan wakil presiden baru, terutama tim ekonominya. Semoga momentum yang baik ini melahirkan tim ekonomi yang baik dan kebijakan-kebijakan yang baik pula.
No comments:
Post a Comment