Menteri Perhubungan E.E Mangindaan mengatakan kenaikan ongkos angkutan umum diperbolehkan asal sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah. "Kenaikan tarif angkutan umum diatur oleh Dinas Perhubungan dan pemerintah daerah," kata Mangindaan usai penutupan Posko Nasional Angkutan Lebaran Terpadu di kantor Kementerian Perhubungan Jakarta, Rabu 6 Agustus 2014.
Menurut dia, kenaikan tarif angkutan umum harus mengikuti kebijakan dari bupati dan gubernur. "Kalau bupati atau gubernur menentukan kenaikan tarif namun terlalu mahal maka bisa dikaji lagi," kata dia. Sejumlah pengusaha angkutan umum di daerah menaikkan tarif, setelah pembelian solar dibatasi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi. Pembatasan ini diprediksi meningkatkan biaya operasional hingga 65 persen.
Pengusaha angkutan umum di Jakarta Pusat mengalami dampak langsung. Setelah solar dibatasi, dari 300 Kopaja yang beroperasi di Jakarta Pusat, tinggal sisa 150 unit. Direktur Jenderal Perhubungan Darat Suroyo Alimoeso mengimbuhkan, kenaikan tarif angkutan umum tidak menjadi masalah. "Biaya perawatan selalu naik, kami mengapresiasi Organda yang tidak menaikkan tarif pada Lebaran," katanya. "Setelah Lebaran kalau mau naik ya dipersilakan."
Suroyo mengatakan, usulan kenaikkan tarif dari Organda sudah didiskusikan sejak lama, termasuk pembahasan tarif batas atas dan tarif batas bawah angkutan jalan. Mereka menghitung tarif Rp 161 per kilometer per penumpang menjadi Rp 200 tidak. Hal itu sebagai efek psikologis ketika harga BBM dinaikkan. Suroyo meyakinkan setelah seminggu kondisi akan kembali normal.
Ongkos angkutan umum di Cirebon, Jawa Barat, naik hingga dua kali lipat setelah dibatasinya waktu penjualan solar. Tarif angkutan dari Terminal Harjamukti-Ciledug di Kabupaten Cirebon naik menjadi Rp 12 ribu per orang. "Sebelumnya, tarif hanya Rp 6 ribu," kata Ujang, sopir bus. Kenaikan tarif juga berlaku untuk bus jurusan Cirebon-Kadipaten di Kabupaten Majalengka. Menurut sopir bus, Jarot, saat ini ongkos naik menjadi Rp 30 ribu per orang. "Biasanya memang hanya Rp 15 ribu," ujarnya.
Keputusan menaikkan tarif dilakukan secara sepihak oleh para sopir bus. Menurut Jarot, hingga kini belum ada keputusan apa pun dari pemerintah dan Organisasi Angkutan Darat terkait dengan kenaikan tarif tersebut. "Dari pada kami rugi, lebih baik dinaikkan dulu tarifnya," tuturnya, Selasa, 5 Agustus 2014.
Ujang juga mengeluhkan dibatasinya waktu penjualan solar menjadi malam hari oleh pemerintah. Sebab, bus lebih banyak beroperasi pada siang hari. "Masak kalau solar habis di jalan pada siang hari kami harus mendorong," katanya. Sekretaris Organda Cirebon Karsono meminta pemerintah memberi subsidi kepada angkutan umum. "Kebijakan ini semestinya tak berlaku untuk angkutan umum yang melayani masyarakat ekonomi menengah ke bawah," ujarnya.
Mulai 1 Agustus 2014, pemerintah menerapkan kebijakan pelarangan penjualan solar bersubsidi di SPBU Jakarta Pusat. Kebijakan ini menyusul keputusan pemerintah untuk memangkas kuota BBM subsidi menjadi 46 juta kiloliter dari sebelumnya 48 juta kiloliter.
Kemudian, pada 4 Agustus, kebijakan pengendalian BBM subsidi dilanjutkan dengan mengatur waktu penjualan pada pukul 08.00-18.00 waktu setempat di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali. Namun pengaturan waktu penjualan hanya dilakukan di sejumlah SPBU, di cluster-cluster yang dekat dengan industri pertambangan, perkebunan, dan kehutanan.
Pada 6 Agustus, pemerintah menetapkan pelarangan penjualan Premium subsidi di rest area di jalan tol. Juga, pelarangan solar subsidi bagi kapal nelayan di atas 30 gross ton. Meski demikian, pemerintah memastikan kebijakan pengendalian bahan bakar minyak bersubsidi tak akan berdampak signifikan pada kegiatan masyarakat dan industri. Sebab, dari total 4.570 SPBU di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali, hanya 12 persen yang diatur waktu penjualannya pada pukul 08.00-18.00.
"Pembatasan penjualan solar bersubsidi tidak di semua wilayah, sehingga tidak mengganggu operasional barang dan jasa," kata Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Hanung Budya di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Selasa, 5 Agustus 2014. Menurut Hanung, berdasarkan surat edaran Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi mengenai Pengendalian BBM Subsidi, sejak 4 Agustus, penjualan solar telah diatur berdasarkan waktu. Cakupan wilayahnya pun hanya yang dekat dengan industri pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan daerah yang rawan bocor, seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali.
Hanung menambahkan, meski ada upaya pengendalian agar kuota BBM subsidi tak melebihi target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2014, tak semua wilayah terkena kewajiban penerapan. Ia mencontohkan, di jalur logistik utama sama sekali tidak ada pengurangan jam operasional. Meski demikian, Hanung mengakui bahwa kebijakan pengendalian ini juga rawan pelanggaran.
No comments:
Post a Comment