Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistingsih, mengatakan pemerintah harus segera bertindak atas melonjaknya utang luar negeri. Ia menilai pemerintah harus segera membuat kebijakan untuk membatasi utang luar negeri, terutama oleh swasta. "Harus ada pembatasan utang, salah satunya berdasarkan rasio besaran modal perusahaan peminjam," ujar Lana, Rabu, 20 Agustus 2014.
Pembatasan utang berdasarkan rasio modal perusahaan perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan ketidaksanggupan perusahaan membayar utang. Berdasarkan perhitungan rasio modal tersebut, debitur tidak boleh meminjam melebihi batasan tertentu dari modal yang dimiliki.
Langkah kedua, tutur Lana, melakukan hedging atau lindung nilai. Hedging dilakukan untuk menghindari adanya perbedaan nilai tukar rupiah dengan mata uang asing yang bisa menyebabkan melemahnya nilai tukar rupiah. "Besaran rasio utang kepada cadangan devisa memungkinkan rupiah melemah hingga Rp 13 ribu," kata Lana.
Kekurangan valuta asing saat pembayaran utang luar negeri dapat menyebabkan menurunnya nilai tukar rupiah dan melambungnya nilai utang yang harus dibayarkan. Karena itu,hedging menjadi salah satu instrumen penting saat swasta atau pemerintah melakukan pinjaman ke luar negeri.
Terakhir, Lana menyarankan perlu diberlakukannya sistem deposit saat perusahaan swasta melakukan pinjaman ke luar negeri. "Minimal perusahaan yang mau berutang harus memiliki dan menaruh deposit sebesar tiga kali cicilan utang mereka."
Tindakan ini dapat dilakukan untuk mengatisipasi saat perusahaan swasta gagal bayar atau sedang dibelit masalah keuangan. Perhitungan deposit utang ini dapat digunakan untuk membayar utang tanpa harus mengganggu posisi cadangan devisa Indonesia.
Bank Indonesia kemarin merilis data utang luar negeri yang terus melonjak. Pada Juni, utang tercatat US$ 284,9 miliar, naik dibading pada Mei sebesar US$ 283,7 miliar. Utang luar negeri swasta pada Juni naik 0,8 persen, berbanding terbalik dengan utang pemerintah yang justru turun 0,8 persen.
Utang sejumlah perusahaan swasta bakal membengkak akibat melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS. Ekonom dari Bank central Asia, David Sumual, mengatakan membengkaknya utang akan menyebabkan pendapatan perusahaan tergerus. "Pendapatan perusahaan bisa tinggi tapi pembayaran bayar utangnya yang besar dengan dolar," ujar dia Kamis, 17 Juli 2014.
Menurut dia, banyak perusahaan yang meminjam uang ketika kurs rupiah pada kisaran di bawah 10 ribu per dolar AS. Namun dengan kurs saat ini yang hampir menyentuh 12.000 per dolar, membuat kinerja perusahaan akan terbebani sehingga membuat laba perusahaan tergerus. Ini antara lain disebabkan tak banyak perusahaan yang melakukan lindung nilai atau hedging.
Saat ditemui di kesempatan berbeda, Kepala Departemen Statistik Bank Indonesia Hendy Sulistiowati mengatakan utang luar negeri Indonesia pada Mei 2014 naik US$ 7,1 miliar dibandingkan bulan sebelumnya, menjadi US$ 283,7 miliar. Pada April 2014, utang luar negeri tercatat sebesar US$ 276,6 miliar. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, utang luar negeri tumbuh 9,7 persen.
Dari jumlah tersebut, kata Hendy, utang swasta adalah sebesar US$ 151,5 miliar, naik dibandingkan April sebesar US$ 145,6 miliar. Utang publik juga melonjak menjadi US$ 132,2 miliar, dibandingkan April sebesar US$ 131 miliar. "Publik maupun swasta sama-sama bertanggung jawab atas kenaikan utang," kata Hendy.
Kenaikan utang swasta ini, menurut Hendy, cukup besar. Peningkatan utang luar negeri antara lain untuk utang jangka panjang 10,1 persen. Adapun jangka pendek tercatat naik 8,3 persen di Mei. Utang jangka pendek, antara lain digunakan untuk membiayai impor minyak.
Berdasarkan jenis jangka waktu utang tercatat utang jangka panjang sebesar US$ 234 miliar, dengan pembagian utang jangka panjang pemerintah sebesar US$ 125 miliar dan utang jangka panjang swasta sebesar US$ 109 miliar. Ia mengatakan utang luar negeri swasta pada Mei didorong oleh peningkatan pertumbuhan utang luar negeri sektor industri keuangan, listrik, gas, dan air bersih.
No comments:
Post a Comment