Wednesday, August 6, 2014

Mahalnya Biaya Pegawai Dan Harga Sewa Membuat Pedagang Warteg Ogah Balik Ke Jakarta

Terus merangkak naiknya tarif sewa warung serta mahalnya harga bahan kebutuhan pokok di Jakarta membuat sebagian pedagang warung nasi ala Tegal (warteg) enggan kembali ke Daerah Khusus Ibu Kota setelah mudik Lebaran. “Tarif sewa satu warung di Jakarta bisa mencapai Rp 25 juta sampai Rp 30 juta per tahun,” kata penasehat Pusat Koperasi Warung Tegal (Puskowarteg), Harun Abdi Manaf, pada Selasa, 5 Agustus 2014.

Jika ingin meneruskan usahanya di Jakarta, Harun mengatakan tiap satu pedagang warteg harus memiliki modal minimal Rp 100 juta. Sebab, warung-warung di Jakarta disewakan minimal selama tiga tahun. “Belum lagi ditambah dengan tingginya gaji pelayan di Jakarta,” ujar Harun. Untuk pelayan pemula, yang tugasnya hanya meladeni pesanan pembeli, gajinya sekitar Rp 750.000 per bulan. Sedangkan pelayan senior yang bisa memasak gajinya Rp 1,5 juta per bulan.

Tiap satu warteg di Jakarta rata-rata mempekerjakan delapan hingga sepuluh pelayan. Dengan pendapatan kotor sekitar Rp 3 juta per hari, pedagang warteg hanya mengantongi laba kecil setelah dipotong modal belanja, gaji pelayan, dan sewa warung. Walhasil, sebagian pedagang warteg dari Jakarta yang telah pulang ke kampung halamannya di Kota dan Kabupaten Tegal kini mulai melirik sejumlah kota besar selain Jakarta untuk memulai usahanya dari awal.

Menurut Harun, sementara sudah ada tiga kota besar yang menjadi sasaran para pedagang warteg pindahan dari Jakarta, yaitu Bandung, Semarang, dan Jogja. “Di Bandung dan Semarang, masing-masing ada sekitar 200 pedagang pindahan,” kata Harun. Meski tarif sewa warung di Bandung dan Semarang juga terbilang tinggi, sekitar Rp 20 juta per tahun, tapi bisa disewa minimal satu tahun. Harga bahan kebutuhan pokok di dua kota besar itu ditaksir lebih murah 40 persen dibandingkan dengan harga di Jakarta.

“Di Jogja lebih murah lagi. Tarif sewa warungnya hanya berkisar Rp 5 juta per tahun,” ujar Harun. Namun, baru sekitar 100 pedagang warteg yang melirik Jogja. Sebab, mereka harus bersaing ketat dengan para pedagang warung burjo asal Kuningan, Jawa Barat.

“Di Jogja harus pasang harga mahasiswa,” kata Krisyanto, 34 tahun, pedagang martabak asal Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal. Empat tahun berdagang martabak di Kabupaten Bantul, Krisyanto berniat mengajak dua saudaranya untuk merintis usaha warteg di Jogja.

Di Kota Tegal, Krisyanto berujar, harga nasi sayur dengan lauk telur goreng dan teh manis berkisar Rp 12.000. “Kalau di Jogja bisa dibilang mahal. Sebab, makan kenyang di warung burjo (bubur kacang hijau) paling banter hanya Rp 10.000,” kata ayah satu anak itu.

No comments:

Post a Comment