Pada tahun 1999, usahawan Sofjan Wanandi merasa sudah cukup lama berkiprah sebagai pebisnis. Sofjan, yang ketika itu berusia 58 tahun, ingin aktif di organisasi amal dan bisnis, sambil mengawal anak-anaknya menjadi pimpinan puncak grup usaha. Ia pun memanggil Luki Wanandi, salah seorang anaknya, untuk menjadi chief executive officer grup Santini dan Pakarti Yoga.
Luki yang saat itu berusia 29 tahun terkejut oleh keputusan ayahnya. Ia tidak menyangka ayahnya akan secepat itu mengalihkan grup usaha yang dibangunnya puluhan tahun kepada anak-anaknya.
Akan tetapi, Luki, yang pernah bekerja tiga tahun di luar negeri dan bertahun-tahun digembleng ayah-ibunya di perusahaan, menerima dengan penuh tanggung jawab. Kakaknya, Wandi Lestarto, juga mendapat tanggung jawab menjadi CEO untuk sejumlah usaha.
Berikut petikan wawancara dengan Luki di Vin Plus, Jakarta, Sabtu (8/9). Derai tawa penuh ria acap terdengar mengiringi wawancara dengan lulusan Nanyang Technological University ini.
Enak dong jadi anak seorang usahawan besar. Tahu-tahu menjadi CEO.
Eit, nanti dulu. Ayah saya tidak gampangan memberi tanggung jawab kepada anak-anaknya. Saya disuruh kerja dulu di luar negeri selama tiga tahun. Memulai segalanya dari bawah. Sesudah itu, bekerja di perusahaan ayah mulai dari bawah. Dipandang bisa kerja, diberi jabatan asisten manajer, lalu manajer, terus naik menjadi asisten direktur, direktur, lalu CEO. Kalau berbuat salah, ya, dihardik juga.
Mengapa peralihan generasi itu terkesan cepat sekali?
Saya juga berpikir seperti itu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, saya menyadari bahwa ayah bermaksud mengawal kami. Saya dan kakak diminta menjadi CEO agar beliau bisa membantu dari belakang, meluruskan kami kalau kami berjalan tidak lurus. Memberi tahu kami kalau kebijakan kami menyimpang. Ayah ingin kami belajar memikul tanggung jawab besar.
Anda merasa berhasil memikul tanggung jawab itu?
Susah menilai diri sendiri. Namun, karena ayah tidak pernah menegur saya dengan keras, perusahaan berjalan sangat baik, bahkan makin berkembang, saya merasa tidak mengecewakan ayah.
Perusahaan yang langsung di bawah kendali saya cukup banyak, di antaranya perusahaan produsen komponen otomotif, penyedia komponen industri, pertambangan dan jasa, media cetak, perhotelan, dan kebun anggrek. Kami juga menjalankan bisnis aki (Yuasa), Aica Aibon, baja cor, membuat silinder, dan asuransi Wahana Tata.
Saya lega, selama menjadi CEO, perusahaan berkembang baik. Hotel misalnya, menjadi empat. Ada konsesi pertambangan, kafe, dan produksi sepeda motor merek Minerva. Tidak hebat banget penjualan sepeda motor itu, tetapi, ya, sebulan terjual lebih kurang 3.000 unit, berarti memang ada pasarnya. Minerva menggunakan teknologi Jerman, tampilan motor sport, 250 cc, harga lima belas jutaan rupiah.
Ada kesan grup usaha Anda jauh dari publisitas. Mengapa demikian?
Ayah pesan demikian. Bagi ayah, kami bekerja saja sebaik-baiknya, dengan fokus penuh. Kalau baik, pasti akan kelihatan, demikian sebaliknya. Ayah hampir tidak pernah memuji. Kalau pekerjaan kami baik, ia diam saja. sebab, bagi dia, berprestasi sudah lumrah. Sebaliknya, kalau keliru, pasti ditegur.
Ini persis ketika kami bersekolah. Kalau rapor kami sangat bagus, ayah cuma memberi seulas senyum. Tak ada kata-kata pujian. Suatu ketika, ibu kami bertanya, mengapa, sih, ayah pelit memuji. Ayah menjawab enteng, bersekolah memang untuk menjadi anak pintar dan berakhlak baik. Terus di mana istimewanya? Iya, benar juga, sih. Kami saja yang aneh, kok, berharap pujian.
Apa yang Anda pelajari dari ayah?
Banyak hal, terutama disiplin, nyali, setia kawan, cara bersikap, dan sebagainya. Dari ibu, saya pelajari ketenangan menghadapi masalah, loyalitas, dan kasih sayang kepada sesama. Ayah dan ibu adalah paduan yang penuh harmoni. Saya belajar bagaimana ayah menjalankan perusahaan sehingga jarang ada karyawan pindah kerja. Karyawan grup kami umumnya bekerja sampai tua.
Ada garis kebijakan yang tegas?
Kami, misalnya, mengembangkan bisnis-bisnis jangka panjang, bukan bisnis mengail sekali lalu pergi. Kami selalu memandang jauh ke depan, menyusun tim kerja yang solid, cerdas, dan harmonis. Dengan gaya bisnis seperti ini, kami jelas menghendaki suatu bisnis yang memiliki masa depan dan daya tahan yang amat kuat.
Saya, juga kakak saya, sebagai generasi kedua, sangat menyadari bahwa kami meneruskan sebuah bisnis berskala besar. Tugas kami mengokohkan landasan, mengembangkan bisnis itu menjadi sangat berkembang. Lalu generasi berikutnya mengembangkannya lebih maju lagi.
Ayah Anda amat keras dan disiplin. Bagaimana sikap kepada anak-istri?
Tentu berbeda sebab zaman juga berbeda. Saya juga menegakkan disiplin, tetapi dengan langgam berbeda, sesuai era sekarang. Empat anak saya, Lexi, Lea, Lesta, Lizzy, tidak bandel seperti saya dan Wandi dulu. Ini terutama karena istri saya, Lala, hebat mengatur rumah tangga. Saya tidak mampu sebaik dia. Tanpa istri, saya pasti kedodoran. Lala, seorang produser film, bisa care kepada anak, jago masak, pandai mengurus rumah, dan cerdas ngajarin anak. Saya pasti tidak sanggup. Kalau, misalnya, ada yang tanya bagaimana kalau ganti posisi, Lala yang bekerja seperti saya dan saya yang mengurus rumah tangga, saya pasti menyatakan tidak mampu.
Ini juga yang membuat saya selalu rindu rumah. Semua keletihan akibat bekerja seketika lesap begitu saya masuk rumah. Sorot mata anak-anak dan istri selalu penuh ria dan cinta. Persis mata ayah dan ibu saya. Rasanya saya merasa sangat beruntung diberi begitu banyak rahmat oleh Allah. Saya hendak bergegas pulang ke rumah. Istri saya, Lala, sudah siap mencukur rambut saya yang terlihat mulai panjang.
No comments:
Post a Comment