Pengamat minyak dan gas Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES), Kurtubi mempertanyakan kenaikan harga gas industri sebesar 50 persen yang tidak didukung dengan data biaya produksi gas.
"Kemungkinan kenaikannya ketinggian, tapi harus ada data yang bisa dijadikan `back-up` yakni berapa sebenarnya biaya lifting gas, itu kan tidak ada," kata Kurtubi di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, seharusnya penetapan harga gas dilakukan oleh pemerintah, bukan oleh Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai pengelola gas.
"Pemerintah dalam menentukan harga gas juga harus memperhatikan sisi konsumen, dalam rangka mendorong pertumbuhan industri untuk memperbesar lapangan kerja. Namun dalam penentuan harga gas, PGN tidak boleh rugi atau sebaliknya terlalu banyak mengambil keuntungan," kata dia.
Ia mengatakan pemerintah harus bijaksana melakukan penghitungan biaya secara transparan agar keputusan harga gas bisa diterima semua pihak.
"Kalau memang biaya lifting gas naik, wajar harga naik, tetapi naiknya jangan kelewat tinggi. Dan kalau memang biaya produksinya naik kelewat tinggi, pemerintah wajib melakukan pengecekan dan menelusuri apa penyebab naiknya biaya produksi tersebut," ujar dia.
Biaya produksi gas menurut Kurtubi wajib ditelusuri, sebab segala biaya yang dikeluarkan perusahaan migas akan dibayar kembali oleh negara melalui "cost recovery".
"Berapa persisnya biaya lifting gas itu ada di tangan pemerintah. Yang kita lihat sebenarnya kenaikan biaya produksinya seharusnya tidak terlalu besar, makanya naiknya harga seharusnya tidak terlalu tinggi," kata dia.
Sebelumnya, PGN menyatakan kenaikan gas industri sebesar 50 persen sudah berlaku pada 1 September 2012. Kenaikan tersebut lebih rendah lima persen dari yang direncanakan PGN sebesar 55 persen.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengatakan harga gas industri naik sebesar 50 persen atau menjadi 10,05 dolar per mmbtu. Kenaikan tersebut dilakukan bertahap yakni sebesar 35 persen pada 2012, dan 15 persen pada 2013.
No comments:
Post a Comment