Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun 2014 tumbuh 5,3 persen. Pertumbuhan dibantu kenaikan konsumsi temporer berkat pemilihan umum, tetapi menghadapi tantangan kebijakan pengetatan kredit rumah tangga dan anjloknya harga komoditas.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves mengatakan hal ini saat acara peluncuran ”Laporan Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia Edisi Maret 2014”, di Jakarta, Selasa (18/3/2014).
Laporan tersebut disampaikan ekonom utama dan Manajer Sektor Bank Dunia untuk Indonesia Jim Brumby dengan pembanding ekonom utama Bank Danamon, Anton Gunawan, dan Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Kasan Muhri.
”Penyusunan kebijakan berorientasi masa depan akan memperkuat keberhasilan ekonomi Indonesia. Penyesuaian kebijakan mencakup pengalihan belanja subsidi yang signifikan pada kebutuhan yang mendesak, seperti investasi infrastruktur, perbaikan iklim investasi, dan perbaikan pelayanan publik,” kata Rodrigo Chaves.
Kebijakan Bank Indonesia (BI) membatasi kredit rumah tangga turut mengerem konsumsi domestik yang kemudian menekan pertumbuhan ekonomi. Namun, Bank Dunia melihat belanja konsumsi yang temporer selama pemilu akan menjaga pertumbuhan ekonomi masih 5,3 persen.
Prediksi pertumbuhan ekonomi Bank Dunia ini lebih rendah dari prediksi BI yang sekitar 5,5 persen sampai 5,8 persen. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 sebesar 6 persen.
Menurut Bank Dunia, kebijakan pengetatan kredit dari BI membuat pertumbuhan nilai kredit perbankan turun dari 23,1 persen pada Januari 2013 menjadi 21,6 persen pada Desember 2013. Hal ini seiring pelambatan pertumbuhan penyaluran kredit dari 18 persen (Januari 2013) menjadi 12,2 persen (Desember 2013).
Kredit konsumsi, yang mencakup 25 persen dari total kredit, turun paling tajam dibandingkan kredit modal kerja atau kredit ekspor. Pertumbuhan kredit konsumsi antara lain pembelian mobil, sepeda motor, dan rumah, melambat dari 20 persen pada pertengahan 2013 menjadi 13,7 persen pada akhir tahun 2013.
Sejumlah kebijakan moneter yang dilakukan BI untuk menurunkan inflasi relatif berhasil pada awal tahun 2014. Hal ini karena inflasi dasar turun dari 8,2 persen pada Januari menjadi 7,7 persen pada Februari.
Belanja subsidi naik
Bank Dunia menyoroti belanja subsidi yang besar. Tahun 2014, belanja subsidi diperkirakan 2,6 persen dari produk domestik bruto (PDB), naik dari 2,2 persen tahun 2013. Subsidi energi masih memegang porsi terbesar yang memberi tekanan terhadap anggaran, terutama tagihan tahun 2013 sebesar Rp 40 triliun atau setara 0,3 persen dari PDB yang pembayarannya menggunakan anggaran tahun 2014.
Sebagian besar subsidi BBM habis dipakai mengimpor minyak untuk kebutuhan pemilik kendaraan bermotor yang ada di kota besar. Hal ini membuat pemerintah tak punya anggaran memadai untuk infrastruktur jalan, pertanian, dan transportasi publik yang diperlukan.
Impor minyak membuat transaksi berjalan tahun 2013 defisit 28,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 342 triliun) atau 3,3 persen dari PDB. Tanpa perbaikan kebijakan, defisit transaksi berjalan tahun 2014 sebesar 24,4 miliar dollar AS (sekitar Rp 292,8 triliun) atau 2,9 persen. ”Sulit menekan defisit transaksi berjalan di bawah 2,5 persen tahun 2014 tanpa mereformasi kebijakan subsidi BBM,” kata Jim Brumby.
Anton menambahkan, jumlah industri pengolahan di antara produsen bahan mentah dan hilir membuat impor bahan baku tinggi. ”Harus ada upaya mendorong industri yang di tengah tumbuh sehingga impor bahan baku akan menurun,” kata Anton.
No comments:
Post a Comment