Perkembangan situasi ekonomi hari-hari ini dinilai sudah harus diwaspadai sebagai tahap awal krisis nilai tukar. Pelemahan nilai tukar rupiah sudah melampaui perkiraan pelaku pasar, bersamaan dengan tiga persoalan besar menantang perekonomian Indonesia.
"Rasa-rasanya kita harus realistis bahwa kita memasuki tahap awal krisis nilai tukar rupiah," ujar ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Hari Wibowo.
Sepanjang 2013, sebut Dradjad, nilai tukar rupiah sudah melemah 15 persen terhadap dollar Amerika Serikat. "Jauh lebih cepat dan lebih besar daripada perkiraan pelaku pasar," kata dia. Sementara, lanjut Dradjad, ada tiga persoalan besar yang juga butuh penanganan segera. Pertama, sebut dia, defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan. Kedua, utang swasta yang sebagian besar akan jatuh tempo. "Jumlah kumulatif utang yang jatuh tempo sekitar 25,6 miliar dollar AS," sebut dia.
Persoalan ketiga, kata Dradjad, adalah dampak dari kebijakan bank sentral Amerika Serikat. The Fed diperkirakan bakal kembali meluncurkan stimulus quantitative easing tampering pada September 2013. "Kebijakan ini jelas akan menimbulkan dampak besar terhadap global capital flows," ujar dia.
Karenanya, tegas Dradjad, kebijakan Pemerintah tak bisa lagi didasarkan asumsi normal. Menurut dia, kebijakan pemerintah sudah harus masuk ke asumsi "respons terhadap krisis", khususnya respons terhadap ketiga faktor risiko di atas.
"Jika responsnya tepat dan kredibel, tidak bermimpi misalnya dengan mematok target pertumbuhan 6,4 persen, serta tak menganggap enteng, mduah-mudahan kita bisa mencegah terjadinya full blown crisis," harap dia.
No comments:
Post a Comment