Bali dikenal sebagai daerah wisata yang maju dan terkenal glamor di seluruh dunia. Namun ironisnya, di balik majunya industri pariwisata di Pulau Dewata itu, terdapat sebuah daerah yang mayoritas warganya miskin. Daerah dimaksud adalah Kabupaten Buleleng, wilayah utara Bali.
Berdasarkan survei Badan Pusat Statisik Provinsi Bali sebagaimana dilansir oleh Habitat for Humanity–sebuah lembaga kemasyarakatan yang konsen terhadap isu kemiskinan-tingkat kemiskinan di Buleleng adalah 5,19 persen dari jumlah penduduk 625.125, tertinggi dari angka kemiskinan di Provinsi Bali sebesar 4,1 persen.
Akibat kemiskinan itu, sebanyak 51.382 unit rumah di Buleleng kondisinya tidak layak huni. Data tersebut berdasarkan hasil survei Dinas Sosial setempat pada 2013.
Salah satu desa termiskin di Kabupaten Buleleng adalah Gobleg, sekitar 70 kilometer dari Denpasar, ibu kota Bali. Di daerah tersebut, rata-rata warganya tidak memiliki rumah layak huni. Padahal di sekitarnya terdapat objek wisata pantai Lovina yang juga terkenal sedunia dengan alamnya yang eksotik.
Sejumlah wartawan, termasuk Kompas.com, sempat mengunjungi Desa Gobleg, Kecamatan Banjar pada Kamis (6/3/2014) bersama sukarelawan Habitat for Humanity dan Tim Corporate Social Responsibility (CSR) PT Asuransi Cigna Indonesia. Rombongan mendatangi salah satu banjar (dusun) di Desa Gobleg, yakni Dusun Dinas Asah.
Kepala Dusun Dinas Asah, Ketut Jana mengungkapkan, di daerahnya terdapat 70 rumah yang tidak layak huni dari total 940 keluarga. Kebanyakan pemilik rumah tak layak huni adalah para buruh tani.
“Sebanyak 70 rumah yang tidak layak huni itu, baru hasil survei kami dengan Habitat for Humanity,” jelasnya kepada wartawan, Kamis (6/3/2014).
Selain kondisi rumah yang tidak layak huni, mereka juga tidak memiliki tempat mandi, cuci dan kakus (MCK). Para keluarga miskin ini juga tidak memiliki sumur untuk memenuhi kebutuhan air. Mereka biasa mengambil air dari sebuah sumber mata air berjarak 2 kilometer dari tempat tinggal mereka di Dinas Asah. Namun kini, persoalan air sudah teratasi dengan adanya pompa air manual bantuan Habitat for Humanity.
Salah satu warga miskin yang tidak memiliki rumah layak huni adalah Nyoman Serija, seorang nenek yang berusia 70 tahun. Nyoman Serija merupakan janda yang tinggal sendirian di sebuah rumah gubuk dengan alas tembok yang sudah hancur. Sehari-hari, dia bekerja sebagai buruh tani bunga Pecah Seribu–salah satu tanaman untuk ibadah umat Hindu-dengan pendapatan antara Rp 30.000 hingga Rp 50.000 per tujuh hari.
Panen bunga pecah biasanya tujuh atau 14 hari sekali. Jika tidak sedang panen, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Nyoman Serija mengandalkan belas kasih kerabat dan tetangganya.
Nasib serupa juga dialami keluarga miskin lainnya, yakni keluarga Wayan Sulendra (30), Ketut Pasta (58), Kadek Ariawan (39), dan Ketut Sentayana. Mereka juga menghuni rumah gubuk yang memprihatinkan. Mereka juga hanya bekerja sebagai buruh tani bunga pecah seribu dengan pendapatan tak menentu.
Mana peran pemerintah?
Salah satu keluarga miskin, Ketut Pasta mengaku, selama ini ia dan warga miskin lainnya belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, baik modal pekerjaan maupun perumahan. Selama ini, untuk memenuhi kebutuhan hidup, Ketut Pasta hanya mengandalkan upah buruh tani bunga pecah seribu sebesar Rp 35.000 per seminggu sekali.
“Setiap panen, kami bisa mendapatkan Rp 75.000 dari hasil penjualan bunga. Namun uang itu harus dibagi dua dengan pemilik tanah. Jadi kami hanya mendapatkan bersih Rp 35.000,” jelasnya. Jangankan merenovasi rumah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, uang sebesar itu dirasa tidak cukup.
Kepala Dusun Dinas Asah, Ketut Jana mengakui, bantuan pemerintah ke wilayahnya minim. Bahkan, menurut Ketut Jana, bantuan perumahan dari Pemerintah Provinsi Bali yang diharapkan akan diberikan kepada kelaurga miskin, hingga kini belum terrealisasi.
Kini, sebagian keluarga miskin yang menghuni rumah gubuk sedikit lega. Mereka menjadi salah satu penerima bantuan pembangunan rumah yang diadakan Cigna bekerjasama dengan Habitat for Humanity. Mereka dibangunakan rumah sederhana dengan ukuran bervariasi, tergantung jumlah anggota keluarga yang akan mendiaminya.
Namun demikian, mereka tetap masih menghadapi persoalan, yakni sumber pendapatan. Selama ini, menjadi buruh tani bunga Pecah Seribu kurang prospektif. Betapa tidak, harga bunga pecah seribu per kilogram antara Rp 500 hingga Rp 15.000. Harga bunga tidak stabil tergantung situasi.
“Harga bunga bisa anjlok hingga Rp 500 dalam keadaan stok barang sedang banyak,” kata Clareta Gozali, Bali Program Development Manager di Habitat for Humanity.
No comments:
Post a Comment