Di awal tahun, tepat memasuki bulan kedua di 2014, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan survei indeks harga properti residensial. Hasil survei BI yang dikeluarkan pada Rabu (12/2/2014) itu menunjukkan, bahwa penjualan properti residensial pada kuartal IV melambat dibandingkan triwulan sebelumnya, dari 39,80 persen menjadi 12,05 persen.
Tak bisa dimungkiri, memang. Kebijakan penyempurnaan ketentuan loan to value pada 2013 turut memberikan dampak terhadap penurunan permintaan hunian. Perlambatan kenaikan penjualan terutama terjadi pada rumah tipe kecil.
Namun demikian, kenaikan harga properti residensial yang terjadi pada 2012 dan 2013 diperkirakan akan terus berlanjut tahun ini. Bahkan, secara triwulanan, kuartal I 2014 meningkat lebih tinggi 2,56 persen dibanding kuartal IV 2013, dengan kenaikan harga tertinggi pada rumah tipe menengah yakni 3,45 persen.
Bisa disimpulkan, bahwa Pemerintah tak sanggup mengendalikan kenaikan harga properti yang sudah sangat tinggi itu. Semua diserahkan kepada mekanisme pasar yang ada. Sejurus itu, ketika mekanisme pasar dikuasai para pengembang, harga pun relatif diatur oleh para pengembang dan tak murni lagi berdasarkan mekanisme pasar. Kenaikan harga yang ada relatif sebagai harga semu.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan, bahwa memang tidak semua pengembang menggoreng harga setinggi-tingginya. Namun, ketika pasar menunjukkan tingkat permintaan tinggi, maka sah saja ketika banyak pengembang juga ikut menaikan harganya. Alasannya, hal itu dilakukan terkait bisnis usahanya harus mengejar profit.
Pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab dengan semua? Apakah harga tanah tak bisa dikendalikan? Kementerian mana yang wajib mengurus hal ini?
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa Pemerintah seperti tak sanggup mengendalikan harga properti, bahkan harga-harga tanah. Hal tersebut juga diakui oleh Ali.
"Ketika harga properti menjadi sangat tinggi, Menteri mana yang harus bertanggung jawab ? Jawabnya, tidak ada kementerian yang saat ini mengurus khusus properti. Ironis bukan?" kata Ali dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (6/5/2014).
Ali mengatakan, Indonesia perlu melihat upaya yang dilakukan negara tetangga, Singapura. Ketika harga properti naik tidak terkendali, melalui Housing Development Board (HDB) sebagai lembaga perumahan nasional Singapura, Pemerintah negara itu membangun rumah-rumah menengah dengan harga "wajar".
"Itu juga yang dilakukan oleh Malaysia untuk mengendalikan harga tanahnya," ujar Ali.
Ali mengatakan, hal itulah yang membuat para pengembang mempunyai "pesaing", yang pada akhirnya mereka tidak bisa lagi menaikan harga terlalu tinggi. Pasalnya, para pengembang harus bersaing dengan proyek HDB yang membanjiri pasar.
"Ini yang tak bisa dilakukan pemerintah, karena sampai saat ini pemerintah Indonesia belum punya badan perumahan yang khusus menangani perumahan untuk rakyatnya. Badan ini sebetulnya sudah diamanatkan UU, namun sampai saat ini belum diimplementasikan," kata Ali.
Dengan adanya Badan Perumahan, lanjut Ali, pemerintah diharapkan dapat membuat bank tanah (land bank). Dari bank tanah itulah pemerintah kemudian membangun perumahan ataupun apartemen bagi kalangan menengah dan bawah.
No comments:
Post a Comment