"Kita cabut izin IUP-nya, karena tumpang tindih lahan, karena daerah kuasa pertambangan (KP) Churchill sudah ada yang punya sejak zaman baheula," ujar Bupati Kutai Timur Isran Noor ditemui di Kantor APKASI , Gedung International Finance Centre, Sudirman, Selasa (4/3/2014).
Isran mengatakan, lahan pertambangan yang diduduki oleh Churchill tersebut merupakan lahan milik perusahaan Prabowo yakni PT Kaltim Nusantara Coal (KNC). "Jadi itu bukan memihak Prabowo, lahan itu sudah sejak lama dimiliki dia, karena ini tumpang tindih lahan, makanya kita periksa ternyata Churchill yang melanggar," ungkapnya.
Isran mengungkapkan, Churchill melalui anak usahanya PT Ridlatama Grup bisa mendapatkan IUP yang ternyata sudah ada pemiliknya, karena perusahaan tersebut melakukan banyak kecurangan. "Mereka curang, mereka memalsukan surat-surat, mereka memalsukan tandatangan bupati, sehingga seharusnya bupati tidak boleh mengeluarkan izin karena surat-surat dan dokumen lainnya dipalsukan bupati mengeluarkan izin," ungkapnya lagi.
Karena ketahuan memalsukan dokumen dan tandatangan bupati, serta ada saham asing di dalam perusahaan PT Ridlatama Grup yang seharusnya tidak boleh, maka IUP milik Ridlatama dicabut. "Karena melanggar, makanya kita cabut izinnya," tutup Isran.
Perusahaan tambang asal Inggris Churchill Mining Plc menggugat pemerintah Indonesia US$ 1,05 miliar atau Rp 10,5 triliun di pengadilan arbitrase internasional, karena izin usaha pertambangannya dicabut. Churchill mendapat bantuan perusahaan Australia yakni Planet Mining Pty Ltd.
"Gugatan Churchill ini dibantu juga oleh Planet Mining, perusahaan asal Australia yang sama-sama juga menggugat Indonesia di ICSID (International Centre for Settlement of Invesment Dispute)," ungkap Bupati Kutai Timur Isran Noor di Kantor APKASI, Gedung International Finance Centre, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (4/3/2014).
Perusahaan tambang asal Inggris Churchill Mining Plc menurunkan gugatan ganti rugi sengketa lahan tambang kepada pemerintah Indonesia, dari sebelumnya US$ 2 miliar (sekitar Rp 20 triliun), menjadi US$ 1,05 miliar (sekitar Rp 10,5 triliun).
"Churchill menurunkan nilai gugatan ganti rugi kepada pemerintah Indonesia di pengadilan arbitrase internasional (InternationalCentre For ettlement of Invesment Dispute/ICSID), dari sebelumnya US$ 2 miliar menjadi US$ 1,05 miliar," ungkap Bupati Kutai Timur Isran Noor, ditemui ditemui di kantor APKASI, International Financial Centre, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (4/3/2014).
Isran mengakum, dirinya tidak mengetahui alasan Churchill menurunkan nilai ganti rugi kepada pihak Indonesia karena pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) di Kutai Timur oleh Bupati Kutai Timur.
"Saya tidak tahu kenapa mereka turunkan nilai gugatan ganti ruginya, mungkin mereka tidak pede (percaya diri) kali," ujarnya. Isran mengungkapkan, keberadaan Churchill mining di Indonesia adalah sesuatu yang ilegal atau melanggar hukum. Krena itu, izin usaha pertambangannya dicabut. "Dia memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) melalui perusahaan dalam negeri yang dia akusisi sahamnya yakni PT Ridlatama Grup sebesar 75%," katanya.
Sementara, dalam aturan perundang-undangan Indonesia, tegas bahwa Kuasa Pertambangan (KP) dengan IUP tidak boleh ada dana asing sedikitpun. "KP atau IUP itu tidak boleh ada saham asing secuil pun, harus 100% dipegang oleh warga negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia.Kalau ada asing urusannya dengan pemerintah pusat yang namanya Kontrak Karya," tutup Isran.
Isran mengatakan, pihak Planet Mining tidak menuntut ganti rugi, perusahaan tersebut membantu menguatkan gugatan Churchill saja. "Melihat Churchill menggugat, dia ikut juga sama-sama gugat Indonesia, seolah-olah memperberat dan menguatkan gugatan Churchill," katanya.
Masuknya gugatan Planet, membuat Tribunal (Pengadilan Arbitrase) memeriksa dan meneliti ketentuan-ketentuan Bilateral Invesment Traty (BIT) antara Indonesia-Inggris dan BIT Indonesia-Australia. BIT ini bertujuan bahwa investasi asing akan mendapatkan perlindungan dari pemerintah dan merupakan produk pemerintah pusat.
"BIT-BIT yang sekarang ini cenderung sangat merugikan posisi Indonesia dan menguntungkan posisi investor asing," ucap Isran. Isran mengakui, pemerintah pusat terpaksa menandatangani BIT puluhan tahun lalu karena Indonesia memang membutuhkan investasi asing. "Saat itu posisi Indonesia sangat lemah karena membutuhkan investasi asing. Tentunya dengan adanya gugatan Churchill ini membuahkan pelajaran bagi kita semua, sudah saatnya kita melakukan renegosiasi BIT-BIT, kalau perlu abaikan BIT tersebut," tambah Isran.
Apalagi saat ini banyak negara-negara baik di Asia maupun Amerika Latin sudah meninggalkan BIT tersebut. "Seperti Brasil tidak punya satu pun BIT, Arab Saudi saja mengecualikan BIT untuk sektor stategis mereka seperti minyak dan gas buminya," ujarnya.
No comments:
Post a Comment