Tuesday, April 5, 2011

Furnitur Rotan Alami Tergeser Furnitur Rotan Plastik

Industri furnitur berbahan baku rotan makin tergeser dengan rotan berbahan baku plastik yang disebut rotan sintetis. Tren pasar juga berubah sehingga perajin sulit tetap memproduksi mebel rotan di tengah daya saing yang makin ketat, terutama menghadapi kompetitor dari luar seperti dari China.

Pergeseran tren dirasakan perajin mebel ataupun pemasok rotan di sentra mebel rotan Cirebon, Jawa Barat, Selasa (5/4). Walau di Plumbon, Kabupaten Cirebon, masih ada beberapa industri rotan, sebagian besar perajin memilih mengurangi produksi mebel berbasis rotan. Bahkan, deretan ruang pameran di Tegalwangi tak hanya menawarkan mebel rotan, tetapi juga mebel rotan berbahan plastik.

Kepala Pabrik CV Property Buwang Syah Sumianto mengatakan, ”Kami hanya bertahan karena melihat tren pasar. Pasar ekspor mebel rotan makin turun, juga di dalam negeri. Pemilihan rotan imitasi terjadi karena konsumen luar negeri ingin meminimalisasi penggunaan kayu.”

Kegiatan industri mebel sebenarnya masih berjalan, seperti di Property. Kegiatan menganyam kursi terus berlangsung meski dengan bahan baku rotan sintetis untuk mengejar pesanan ekspor. Satu dari empat pabrik Property, rata-rata mengekspor 30 kontainer per bulan.

Menurut Buwang, produk asal Cirebon memang lebih banyak diekspor. Produk Cirebon kalah bersaing di dalam negeri, justru karena serbuan produk China dengan adanya Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Produk China sulit dilawan dari sisi harga jual. Konsumen Indonesia sangat sensitif soal harga dan tak peduli kualitas apalagi desain.

”Bersaing harga dengan China, kami menyerah. Mereka bisa menekan ongkos produksi karena Pemerintah China memberi insentif ekspor. Perbankan dengan bunga kredit rendah. Sementara di sini, semakin industri tumbuh, makin dirintang,” ujar Buwang.

Presiden Direktur PT Jati Vision Raya (JAVA) Farry Tandean mengatakan, ”Infrastruktur biaya produksi memang sulit ditandingi. Indonesia terlalu mahal.”

Bahan baku alternatif

Menurut Farry, industri furnitur tak dapat hanya fokus di industri berbasis rotan. Apalagi, mebel rotan kerap dipandang sebagai barang murahan. Permintaan pasar di tingkat domestik saja tidak menolong sama sekali. Media campuran, seperti besi dan kayu, haruslah dilakukan industri dengan inovasi kreativitas tinggi. Sentuhan desain sangat dibutuhkan untuk menggapai nilai tambah yang tinggi.

Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, ekspor furnitur rotan tahun 2007 mencapai 319 juta dollar AS, tahun 2008 turun menjadi 239 juta dollar AS, tahun 2009 turun drastis menjadi 167 juta dollar AS. Tahun 2010, nilai ekspor menurun lagi menjadi 138 juta dollar AS.

Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (Asmindo) M Hatta Sinatra, beberapa waktu lalu, mengatakan, industri mebel rotan menghadapi permintaan pasar yang melemah. Industri tidak mempunyai posisi tawar menghadapi pembeli. Tren bisnis ini menuntut kualitas bagus dengan harga kompetitif.

Yoce, petugas pemasaran PT Sulawesi Jaya, perusahaan bahan baku rotan mengatakan, permintaan atas rotan turun hingga 30 persen dibanding tahun lalu.

Berdasarkan pengamatan Kompas tampak rotan menumpuk di gudang milik Sulawesi Jaya jadi ketersediaan bahan baku bukanlah isu di Cirebon.

No comments:

Post a Comment