Tuesday, April 19, 2011

Indonesia Belum Manfaatkan Peluang ACFTA

Pengamat ekonomi Tony A Prasetyantono di Jakarta, Selasa (19/4), menuturkan, China sedang mengalami penurunan daya saing. Terbukti pada triwulan I- 2011, China mencatat defisit perdagangan 1,1 miliar dollar AS. Ini defisit pertama per triwulan bagi China sejak tahun 2004.

Namun, Tony mengakui, kondisi inflasi dan kenaikan harga produk primer di China tidak serta-merta membuat produk China menjadi lebih mahal di Indonesia. Hal ini karena nilai tukar rupiah yang terus menguat atas yuan belakangan ini. Hal ini menekan daya saing produk dalam negeri pada produk China.

Menurut Tony, sejak tahun 2008, nilai rupiah telah menguat 28 persen terhadap dollar AS. Adapun penguatan yuan terhadap dollar AS hanya mencapai 4-5 persen. Ini artinya ada kecenderungan rupiah menguat terhadap yuan.

”Ini melemahkan daya saing kita terhadap produk China, terutama di pasar domestik kita sendiri,” ujarnya.

Menurut Tony, China sebenarnya sedang mengalami penurunan daya saing. Penyebabnya adalah, pertama, naiknya harga produk primer dipicu kenaikan harga minyak bumi. Produk primer ini menjadi bahan baku industri China. Kedua, inflasi China naik menjadi 5 persen lebih. Ketiga, upah buruh China naik. Keempat, yuan menguat meski hanya 5 persen.

Dengan situasi itu, Indonesia harus mewaspadai apresiasi rupiah. Jangan biarkan rupiah menguat terlalu jauh, yang bisa menyebabkan produk dalam negeri kalah bersaing dengan China.

”Memang penguatan rupiah banyak membantu meredam inflasi kita, terutama dari sisi imported inflation (inflasi yang disebabkan oleh tingginya harga (barang impor). Namun, di sisi lain akan menyebabkan membengkaknya defisit perdagangan dengan China. BI harus memiliki batas tertinggi rupiah, misalnya Rp 8.700 per dollar AS. Kalau melewati batas itu, harus diintervensi,” kata Tony.

Data per akhir 2010, neraca perdagangan Indonesia-China defisit di pihak Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke China 49,2 miliar dollar AS, sementara nilai impor dari China sebesar 52 miliar dollar AS.

Tetap murah

Pengamat ekonomi Mirza Adityaswara mengatakan, ketika inflasi di China naik, seharusnya produk China semakin mahal. Akan tetapi, karena rupiah menguat lebih besar daripada yuan, maka di Indonesia produk China tetap saja terasa murah.

”Sebenarnya, yuan didesak menguat (oleh Amerika Serikat) agar China mengimpor barang dari Amerika. Namun, karena rupiah menguat lebih besar daripada penguatan yuan, Indonesia malah yang mengimpor banyak barang China, termasuk barang konsumsi,” katanya.

Sementara itu, Deputi Bidang Informasi dan Pemasyarakatan Standardisasi Badan Standardisasi Nasional (BSN) Dewi Odjar Ratna Komala di Surabaya, Jawa Timur, mengatakan, pemberlakuan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) membuat produk China leluasa masuk ke Indonesia. Kendati berkualitas rendah, barang impor itu yang sudah mengadopsi Standar Nasional Indonesia (SNI) pun mulai membanjiri pasar lokal. (

No comments:

Post a Comment