Meski harganya lebih mahal sedikit, saya lebih suka beli minyak goreng curah. Sifatnya yang curah mempermudah pembelian. Dengan Rp 2.000, saya sudah bisa bawa pulang minyak untuk masak,” kata Neneng, ibu rumah tangga yang tengah berbelanja di Pasar Palmerah, Jumat (15/4).
Kalau membeli minyak goreng kemasan, Neneng harus mengeluarkan uang sekitar Rp 12.000 untuk kemasan 1 liter. Harga minyak goreng curah per liter berkisar Rp 13.000. Kemudahan mengecer membuat minyak curah lebih disukai.
Dari data Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) tahun 2010 konsumsi minyak goreng nasional tercatat 3,2 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 12 persen adalah minyak goreng kemasan, sebanyak 25 persen merupakan minyak goreng bulky yang dikemas dalam drum atau plastik, sementara sisanya 63 persen adalah minyak goreng curah.
Pemerintah saat ini tengah menggagas konversi konsumsi minyak goreng dari curah ke kemasan. Ada dua alasan utama, yakni masyarakat didorong untuk mengonsumsi minyak goreng yang lebih higienis, serta pemberian subsidi lebih tepat sasaran. Minyak kemasan biasanya hanya dipakai kalangan rumah tangga, bukan industri.
Subsidi diberikan dalam bentuk Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP). Bila semula PPN DTP diberikan kepada minyak goreng curah dan kemasan, nanti akan dibatasi pada kemasan saja. Tahun anggaran PPN DTP mencapai Rp 250 miliar. Konversi ditargetkan selesai tahun 2015.
Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, penurunan konsumsi minyak goreng curah penting untuk mencapai ketahanan pangan. Pengurangan itu mendorong stabilisasi harga pangan dan perbaikan kualitas pangan. Dari segi harga, kemasan lebih stabil, sementara curah sangat fluktuatif mengikuti harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional.
Secara khusus, Kementerian Perdagangan telah merilis merek Minyakita untuk kemasan. Ada 24 perusahaan yang ikut memproduksi merek itu dengan total kapasitas 73.000 ton per tahun. Masalah konversi dari curah ke kemasan juga bukan soal mudah. Menurut Ketua GIMNI Sehat Sinaga, untuk mengemas minyak curah diperlukan 780 pabrik kemasan. Setiap unit pengemasan itu membutuhkan investasi Rp 1,4 miliar dengan kapasitas per unit 2.500 ton-3.000 ton minyak per tahun.
Yang harus diingat, masalah konversi tidak melulu penghitungan matematis saja. Konversi adalah soal budaya. Karena itu, agar program konversi berhasil pemerintah harus memahami budaya masyarakat. Seperti Neneng, misalnya, yang lebih suka dengan kemasan kecil karena harganya terjangkau.
Makanya pengemasan seharusnya tidak hanya pada ukuran 1 liter dan 2 liter, seperti yang ada saat ini. Kemasan harus diperkecil ke ukuran 0,5 liter dan 0,25 liter. Karena menyangkut budaya, konversi juga butuh sosialisasi intensif.
No comments:
Post a Comment