Thursday, April 28, 2011

Rupiah Berada Pada Posisi Terkuat Selama 7 Tahun Tanda Kepercayaan Dunia Mulai Pulih

Persepsi negatif pasar global terhadap mata uang AS telah memengaruhi penguatan rupiah, Kamis (28/4). Tren penguatan ini diperkirakan masih berlangsung hingga pertengahan tahun. Nilai tukar rupiah, kemarin, merupakan nilai tukar tertinggi dalam 7 tahun.

Pada penutupan perdagangan kemarin, berdasarkan kurs tengah BI, rupiah ditutup menguat ke level Rp 8.593 per dollar AS, menguat dari posisi sebelumnya, Rp 8.625.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia juga naik tipis, 3,998 poin atau sekitar 0,11 persen menjadi 3.808,92. Hal ini merupakan rekor baru bagi IHSG.

Sejumlah pengamat melihat, pertemuan The Federal Open Market Commitee (FOMC) di AS, yang mengambil keputusan Bank Sentral AS tetap mempertahankan pelonggaran moneter, menjadi pemicu utama pelemahan dollar AS.

Tren penguatan pun terjadi pada sejumlah mata uang. Euro, misalnya, menguat di level 1,484 per dollar AS, poundsterling di level 1,668 per dollar AS, dan dollar Australia menguat 1,092 per dollar AS.

”Penguatan rupiah akan terjadi bertahap untuk jangka menengah, paling tidak sampai pertengahan tahun ini. Di level support bisa mencapai Rp 8.450 per dollar AS. Arah kebijakan Pemerintah AS paling menentukan,” kata pengamat pasar uang, Radityo Setyo Wibowo.

Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya, dalam sebuah seminar, mengatakan, kondisi pasar keuangan Indonesia saat ini belum memadai. Pasar belum siap menghadapi masuknya modal asing secara besar-besaran. Jika pasar keuangan yang meliputi pasar uang, pasar modal, dan pasar saham ini tak siap, maka modal asing yang mengalir deras akan mengakibatkan destabilisasi pasar.

”Bank Indonesia dan pemerintah terus menyiapkan hal itu dengan baik. BI di antaranya berusaha menggeser agar instrumen dalam jangka waktu pendek bergeser menjadi menengah atau panjang,” kata Budi.

Kalangan pengusaha mendesak pemerintah segera mengintervesi nilai tukar rupiah. Pasalnya, penguatan rupiah secara berkelanjutan telah merugikan kalangan eksportir dan memacu aksi impor berlebihan.

”Pengusaha resah karena kontrak dagang dilakukan saat rupiah di level Rp 9.000 ke atas,” kata Ketua Asmindo Ambar Tjahyono.

Keputusan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, mempertahankan pelonggaran moneter AS pasca-pertemuan The Federal Open Market Commitee (FOMC) telah memicu penguatan rupiah terhadap dollar AS, Kamis (28/4). Di akhir perdagangan, rupiah ditutup menguat ke level Rp 8.593 per dollar AS, menguat 32 poin dari posisi sebelumnya Rp 8.625 per dollar AS. Pekan lalu rupiah menyentuh Rp 8.600 per dollar AS, level tertinggi sejak April 2004.

Rupiah menguat sekitar 4,4 persen pada tahun ini dan menjadi mata uang dengan kinerja kedua terbaik di antara 10 mata uang Asia. Tren penguatan pun terjadi pada sejumlah mata uang. Euro, misalnya, kemarin menguat di level 1,484 per dollar AS, poundsterling di level 1,668 per dollar AS, dan dollar Australia menguat 1,092 per dollar AS.

Secara makroekonomi, sejak AS kembali dari krisis keuangan tahun 2008 lalu, mata uangnya melemah terhadap mata uang lain di dunia karena AS memberlakukan suku bunga rendah. Oleh karena itu, masuknya modal ke negara yang tengah tumbuh perekonomiannya, seperti China, India, Brasil, dan Indonesia, tak bisa dihalangi.

Suku bunga acuan bank sentral Indonesia sebesar 6,75 persen juga menarik masuknya aliran dana asing. Di lantai bursa, derasnya uang panas dapat disaksikan dari data harian perdagangan. Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali naik 3,998 poin atau sekitar 0,11 persen menjadi 3.808,92. Hal ini merupakan rekor baru bagi IHSG.

Pengalihan dana investor asing ke bursa regional Asia, termasuk di BEI, tecermin dari total pembelian bersih investor asing sebesar Rp 373 miliar. Saham sektor keuangan menjadi yang paling diburu oleh investor asing saat-saat ini. Sektor itu, kemarin, naik sekitar 9,54 persen, disusul sektor perdagangan 4,08 persen dan sektor industri dasar 3,79 persen. Kepemilikan asing terhadap obligasi pemerintah naik 11 persen dari posisi akhir Desember 2010 menjadi Rp 217,29 triliun atau setara dengan 25,2 miliar dollar AS pada 20 April.

Sejak tahun lalu, banyak bank sentral di dunia yang menghindari apresiasi mata uang mereka karena khawatir kinerja ekspor terganggu. Hal itu juga dialami Indonesia yang menghindari rupiah menguat di bawah Rp 9.000 per 1 dollar AS. Namun, untuk tahun ini saat inflasi dan naiknya harga minyak dunia menjadi ancaman, Bank Indonesia (BI) dan beberapa bank sentral ”membolehkan” apresiasi supaya inflasi dari barang impor dapat turun.

Analis pasar uang, Farial Anwar, menyatakan, tren penguatan nilai tukar rupiah seharusnya tidak terlalu mencemaskan eksportir karena pada saat bersamaan kenaikan nilai tukar juga terjadi di beberapa negara lain, termasuk yang satu kawasan dengan Indonesia. Ia berharap agar BI tidak menahan nilai tukar, tetapi mengendalikan tren penguatan itu secara bertahap. ”BI dan pemerintah juga harus segera mempersiapkan langkah antisipasi jika sewaktu-waktu aliran dana global keluar kembali dari Indonesia, meskipun untuk saat ini kondisi global secara umum belum memungkinkan,” kata Farial.

Data fundamental AS, menurut analis pasar uang, Radityo Setyo Wibowo, juga dikhawatirkan bisa memicu kondisi yang lebih mengkhawatirkan di pasar global. Hal ini juga menuntut langkah antisipasi dan perhitungan matang dari pemerintah dan BI sebagai bank sentral.

”Data GDP (produk domestik bruto) sebagai gambaran permintaan konsumsi masyarakat AS yang akan dirilis diprediksi terus turun, menjadi 1,9 persen dari 3,1 persen. Pelambatan ekonomi AS bisa menimbulkan ancaman resesi baru,” kata Radityo.

Yang terpenting bagi eksportir-importir adalah kestabilan nilai tukar. Penguatan yang sifatnya bertahap. Penguatan itu akan berpengaruh signifikan terhadap produk ekspor yang akan dijual. Maka, dalam proses itu, intervensi yang dilakukan BI harus tepat sasaran.

No comments:

Post a Comment