Meski waktu baru menunjukkan pukul 09.00, suasana Pasar Grabag di Purworejo, Jawa Tengah, pekan lalu sudah tampak sepi. Hujan rintik-rintik membuat pasar yang beralaskan tanah tersebut becek. Ada genangan air di sana-sini. ”Ya, beginilah kalau setiap kali hujan pasti tidak ada pembeli yang ke sini. Tak hanya karena becek, tetapi juga barang-barang yang kami jual rusak,” kata Mardiyah (50), salah seorang penjual sayuran.
Pagi itu Mardiyah mulai berjualan pukul 06.00. Meski sudah tiga jam, belum satu pun dagangannya laku. Padahal, kalau tidak becek, ia sudah bisa mengantongi minimal Rp 50.000. ”Biasanya yang laku hanya pedagang yang membangun sendiri kiosnya. Mereka bisa bangun kios jumlahnya tidak banyak, di pasar ini cuma ada tiga pedagang. Saya juga ingin membangun, tetapi duitnya dari mana?” katanya.
Suasana becek penuh lumpur juga memaksa Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu memakai sepatu bot saat meninjau pasar tersebut. Pasar Grabag menjadi salah satu pasar yang direvitalisasi sekaligus pasar percontohan pada tahun ini. Tahun ini ada 120 pasar tradisional yang direvitalisasi dengan anggaran Rp 505 miliar.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, dari sekitar 14.000 pasar tradisional yang sudah terdata, sekitar 95 persen kondisinya tidak layak. Pasar-pasar tersebut harus direvitalisasi agar tetap eksis, di tengah masifnya ekspansi pasar modern. Pasar tradisional yang kondisinya tidak layak rata-rata sudah berusia di atas 20 tahun.
Revitalisasi menjadi kebutuhan mendesak, tetapi harus diingat bukan hanya merehabilitasi fisiknya saja. Revitalisasi seharusnya dilakukan secara menyeluruh. Revitalisasi harus mampu menjadikan pasar tradisional sebagai ikon perekonomian bangsa, indikator denyut ekonomi suatu daerah, serta identitas sosial ekonomi masyarakat setempat.
Untuk mewujudkannya, revitalisasi harus memerhatikan beberapa aspek. Tata kelola pasar tradisional yang buruk akan menghambat revitalisasi karena membuat bangunan fisik yang sudah megah justru menjadi mandul. Pengelolaan tak hanya menyangkut perawatan, tetapi juga persoalan sampah, distribusi, dan retribusi.
Jika aspek-aspek tersebut bisa dipenuhi, tidak perlu lagi dikotomi pasar tradisional dan pasar modern. Yang ada hanyalah segmentasi produk. Pasar tradisional lebih unggul dalam penyediaan barang hasil bumi, seperti sayuran dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Sebaliknya, barang pabrikan seperti susu, minuman, dan baju ada di pasar modern.
No comments:
Post a Comment